OPINI  

Represivitas Aparat, Saat Pengayom Berubah Jadi Bandit Nyawa Rakyat

dialektis.id – Dalam situasi demonstrasi yang memicu kericuhan di kompleks DPR/MPR, sebuah tragedi memilukan kembali mencuat seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan tewas setelah ditabrak dan terlindas mobil Barracuda Brimob di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat.

Menurut Ketua Presidium Koalisi Ojol Nasional, Andi Kristiyanto, Affan terpeleset saat mencoba menyeberang di tengah kerumunan. Mobil Brimob yang melaju tak menghentikan lajunya dan melindas Affan hingga tewas. Insiden itu sontak memicu kemarahan rekan-rekannya mengejar kendaraan tersebut hingga masuk ke Mako Brimob Kwitang. Polda Metro Jaya dan Kapolri segera merespons dengan menyampaikan duka, meminta maaf, dan memerintahkan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) untuk mengusut tuntas insiden ini.

Tragedi ini bukan lagi sekedar kecelakaan, ini adalah simbol pahit dari represivitas aparat ketika sepatutnya menjadi pengayom, aparat malah menjadi “bandit nyawa rakyat”. Ketika sebuah institusi yang digaji oleh rakyat teledor dan lebih memilih mengabaikan nyawa, maka demokrasi sebenar-benarnya dalam bahaya.

Affan, seorang pekerja kaki-kaki rakyat, bukan simbol kekerasan justru sebaliknya ia menjadi korban dari sistem yang gagal melindungi.

Represivitas seperti ini bukan hanya menyisakan trauma, tetapi juga menuntut refleksi untuk siapa aparat bekerja? Jika bukan melindungi rakyat, lalu untuk apa kekuatan itu digunakan ?

Kita tidak bisa berdiam. Abai adalah bentuk persetujuan terhadap pelanggaran hak secara terang-terangan. Biarkan tragedi Affan menjadi pemantik bangkitnya kolektif rakyat yang menuntut pertanggungjawaban. Jangan biarkan sejarah mencatat bahwa aparat menjadi pedang rakyat karena sesungguhnya, tanggung jawab dan keadilan adalah pondasi bangsa kita.

Secara yuridis, tindakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang karena kelalaian atau kesengajaan, terlebih oleh petugas negara, dapat dikenakan pasal pembunuhan atau penganiayaan dengan akibat meninggal dunia menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), antara lain Pasal 359 (kesalahan) atau Pasal 351 (penganiayaan), bila terbukti unsur kesengajaan atau kelalaian berat. Jika terbukti bahwa aparat abai terhadap keselamatan warga di tengah situasi memanas, maka pertanggungjawaban pidana dan disipliner internal harus ditegakkan.

Lebih jauh, upaya hukum tidak boleh hanya berhenti pada penjatuhan sanksi. Pemerintah dan kepolisian wajib membenahi prosedur pengamanan aksi massa menggunakan prinsip proportionality dan human rights-based policing agar tragedi seperti ini tidak terulang. Aktivisme hukum kita harus menuntut transparansi penuh dan reformasi sistemik—karena negara tidak boleh abai terhadap korban kecil, terutama mereka yang suaranya hanya didengar saat tragedi terjadi.

Bagikan Berita