Festival Internasional Budaya Dayak Bidayuh Nyibang (Nyobeng) Satukan Persaudaraan Dayak Bidayuh Indonesia dan Malaysia

Bengkayang – Kebudayaan merupakan sebuah identitas suatu bangsa. Budaya di Indonesia adalah budaya yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Di Indonesia masyarakat mendapatkan stereotype baik mengenai kebudayaan, masyarakat dinilai masih mempunyai kebiasaan mempertahankan budaya hingga disebut sebagai masyarakat yang berbudaya walau mendapat tantangan dengan keadaan zaman di era globalisasi saat ini. Adanya percampuran kebudayaan seperti asimilasi dan akulturasi tidak membuat budaya Indonesia pudar namun dilestarikan dan dipadukan. Adanya perubahan budaya tidak berpengaruh atau menghilangkan kebudayaan namun membuat budaya Indonesia unik di mata dunia. Keberagaman budaya juga menjadi aspek baik bagi Indonesia, hal itu dapat dilihat dengan hadirnya wisatawan yang datang mengunjungi Indonesia.

Foto Istimewa : Ritual Memandikan Tengkorak
Foto Istimewa : Ritual Memandikan Tengkorak

Seperti yang saat ini dilakukan Masyarakat Dayak Bidayuh di Dusun Sebujit, Desa Hibuei, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat mereka menggelar Festival Internasional Budaya Dayak Bidayuh yang dikenal Nyobeng.

Melalui acara Nyobeng yang digelar mulai dari 14-16 Juni 2023 ini, juga dapat mempersatukan masyarakat Dayak Bidayuh Perbatasan Bengkayang dan masyarakat Bidayuh Perbatasan Serawak Malaysia.

Rumah adat Baluk, tempat penyimpanan Tengkorak hasil zaman Kayau.
Rumah adat Baluk, tempat penyimpanan Tengkorak hasil zaman Kayau.

Dewan Adat Kecamatan Siding, G. Gunawan menjelaskan, “Berbicara tentang Gawai serumpun kita memang bagian dari pada budaya yang membangun persahabatan antara Dua sub suku Dayak Bidayuh yang ada di Indonesia maupun yang ada di Malaysia,” katanya.

Festival Internasional Budaya Dayak Bidayuh yang dikenal Nyobeng ini memang sudah laksanakan sejak jaman Nenek moyang dahulu dengan tujuan untuk menyatukan putra putri Dayak Bidayuh yang ada di Indonesia maupun yang ada di Malaysia.

Gunawan menyadari bahwa dirinya tidak bisa memutuskan mata rantai hubungan antara Dayak Bidayuh bersama yang ada di perbatasan ini.

“Maka kegiatan Festival Internasional Budaya Dayak Bidayuh yang dikenal Nyobeng ini cukup bermakna bagi kami Dayak Bidayuh dalam rangka untuk menyatukan lebih erat lagi sub suku Dayak Bidayuh,” ujar Gunawan yang juga Sekretaris Nyobeng.

Gunawan berharap untuk kedepannya, bukan hanya gawai ini saja untuk menyatukan kami, tetapi banyak dari sisi lainnya yang dapat menyatukan kami Dayak Bidayuh yang ada di perbatasan ini,” tutup Gunawan.

Sementara itu, persatuan rumpun bangsa Dayak Sarawak, Midi Johnek mengatakan, Dayak Bidayuh yang ada di perbatasan Indonesia dan Sarawak memang sudah lama terjalin.

“Kita satu rumpun, Nenek moyang sama, jadi persaudaraan ini bukan karena Gawai saja, melainkan persaudaraan kami dari sub suku Dayak Bidayuh ini sejak dari Nenek moyang kami dulu,” kata Midi.

Festival Internasional Budaya Dayak Bidayuh yang dikenal Nyobeng ini, memang dari awal kita melihat sudah semakin meningkat. Kepada generasi muda Dayak Bidayuh Midi Johnek berharap kedepan gawai ini tetap dilanjutkan,” tutupnya.

Mengenal Ritual Nyobeng, Bentuk Rasa Syukur Suku Dayak Bidayuh kepada Tuhan

Nyobeng (Penulisan dalam bahasa Indonesia ) / Nyobekng (Penulisan dalam bahasa daerah) yang berasal dari kata Nibakng, Ritual Nyobeng adalah ritual yang dilaksanakan oleh Masyarakat Adat Dayak Bidayuh di Dusun Sebujit, Desa Hibuei, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.

Pada zaman dahulu kala, Nyobeng adalah sebuah ritual penghormatan terhadap hasil

pengayauan (Kayau) yaitu istilah lokal yang mengandung arti pemenggalan kepala musuh dalam sebuah peperangan.

Masyarakat Adat Dayak Bidayuh meyakini bahwa kepala manusia adalah sihir terkuat di bumi yang dapat menangkal berbagai mara bahaya, termasuk penyakit, menghasilkan hujan, meningkatkan hasil panen, dan mengusir roh-roh jahat.

Pada Tahun 1894, lahir perjanjian Tumbang Anoi diantara berbagai suku-suku Dayak Kalimantan yang isinya Kesepatakan untuk menghentikan aktifitas mengayau (tradisi penggal kepala) yang relevan dengan situasi dan kondisi masa kini . Meskipun telah bertahun-tahun lamanya tradisi mengayau/kayau tidak dilakukan lagi, tetapi tradisi nyobeng masih tetap dipertahankan secara turun temurun oleh Masyarakat Adat Dayak Bidayuh.

Nyobeng Kini Menjadi Ritual Yang Berfokus Pada Perdamaian

Ritual ini dilaksanakan setiap bulan Juni dan menjadi ajang pertemuan antar sanak saudara terutama saudara serumpun serta sebagai perwujudan penghormatan kepada roh-roh leluhur dan ungkapan rasa syukur atas hasil bumi (Panen) yang diperoleh.

Persiapan ritual dilakukan dengan menyiapkan kapur, sirih, pinang, tembakau, daun gambur, serta babi dan ayam yang disembelih untuk kurban. Darah babi dan ayam akan dilumurkan pada pusaka dan tengkorak hasil kayau dimasa lalu.

Para tetua adat kemudian menyiapkan sesaji yang salah satunya dilumuri darah dari sayap ayam. Keesokan harinya, ritual dilanjutkan dengan pemanggilan roh leluhur oleh tetua adat dirumah adat baluk, dilakukan sebelum matahari terbit.

Rumah Baluk atau rumah adat yang berbentuk limas tempat pemanggilan roh leluhur, juga merupakan tempat penyimpanan tengkorak manusia hasil kayau dimasa silam.

Nyanyian, alunan musik tradisional dan tarian dipertampilkan selama ritual memanggil roh leluhur. Alunan musik ini adalah tanda persahabatan. Para tamu kemudian diarahkan menuju area Rumah Baluk dan disana terdapat aneka pertunjukan, salah satunya panjat aur (Bambu) terbalik, yaitu posisi kaki pemanjat berada diatas, sebagaimana dilakukan pada kstaria terdahulu.

Sebelum dipanjat bambu tersebut dibacakan mantra oleh tetua adat, para pemanjat juga diperciki air dengan daun anjuang. Dan Ritual diakhiri dengan mandi adat pada malam hari yang boleh diikuti seluruh masyarakat, Ritual ini merupakan bentuk Kartasis, representasi dari pembersihan.

 

 

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan