Untuk Sekian Kalinya: Eksepsi Pejuang HAM tidak Diterima Hakim, dan Mulyanto Tetap Tidak Dihadirkan Secara Langsung

Pontianak – Sidang lanjutan kriminalisasi Mulyanto berlangsung di Pengadilan Negeri Pontianak, Selasa (23/04/2024). Agenda sidang adalah pembacaan putusan sela oleh majelis hakim. Putusan sela berisi pertimbangan hakim atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), eksepsi penasehat hukum terdakwa dan tanggapan JPU terhadap eksepsi.

Penasehat hukum terdakwa Mulyanto sebelumnya telah mengajukan eksepsi/keberatan terkait Locus delicti, yaitu mengenai tempat kejadian perkara. Penasehat hukum berpendapat bahwa lokasi kejadian yang dijadikan dasar dakwaan tidak sesuai dengan fakta yang ada. Namun, majelis hakim menolak argumen hukum tersebut dan menyatakan bahwa eksepsi tersebut tidak dapat diterima.

Padahal, dalam Putusan MA yang menjerat Surya Darmadi selaku Bos Duta Palma, aset tanah dan bangunan PT. Wirata Daya Bangun Persada (PT. WDBP) yang menjadi lokasi aksi Buruh pada 19 Agustus 2023, jelas berada di Desa Semanga, Kab. Sambas. Bahkan, lokasi tersebut juga telah ditetapkan sebagai objek sitaan Kejaksaan dan PN Pontianak sendiri. Hal tersebut bertentangan dengan isi dakwaan JPU yang menyebut locus delicti yaitu PKS PT. WDBP berada di Desa Sinar Baru, Kab. Bengkayang.

Selanjutnya, Penasehat hukum dalam eksepsinya mendalilkan bahwa Terdakwa adalah Pembela HAM dan menjalankan aktivitas pembelaan terhadap hak asasi, hak konstitusional, dan hak normatif buruh Duta Palma Group, sehingga surat dakwaan Penuntut Umum terkategori sebagai Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), atau penggunaan  hukum pidana yang sewenang-wenang. Sehingga, dakwaan yang diarahkan kepada terdakwa tidaklah beralasan dan menganggapnya sebagai upaya untuk membatasi partisipasi publik.

Namun, putusan sela menyatakan bahwa argumen hukum tersebut ditolak. Menurut Majelis Hakim, hal tersebut sudah masuk dalam pokok perkara sehingga harus dikesampingkan. Hal ini jelas bertentangan dengan Aturan internal Mahkamah Agung dan Standar Norma Pengaturan yang disusun oleh Komnas HAM, yang mana telah mengatur agar upaya SLAPP seharusnya dapat diajukan dalam eksepsi dan diputus dalam Putusan Sela.

Atas Putusan Sela tersebut, artinya: untuk kesekian kalinya, warga negara yang memperjuangkan hak asasi manusia tidak dilindungi dan justru diperhadapkan dengan tuntutan hukum pidana. Perlindungan terhadap pejuang hak asasi manusia di negeri ini masih diabaikan oleh lembaga peradilan, dan menampakkan adanya kehampaan hak bagi siapapun yang memperjuangkan hak asasi manusia.

Dalam persidangan tersebut pula, Untuk kesekian kalinya Terdakwa masih juga tidak dihadirkan dalam persidangan. Terdakwa Mulyanto, bersidang dari rumah tahanan secara daring, yang mana hal tersebut seharusnya menunjukkan kondisi yang tidak bebas untuk melakukan pembelaan sebagaimana yang disyaratkan oleh KUHAP. Dalam sidang tersebut, Mulyanto sempat mempertanyakan kepada hakim mengenai dirinya yang tidak dihadirkan secara langsung. Mulyanto menyampaikan, dirinya ingin dihadirkan secara langsung agar publik dapat menilai secara langsung perkaranya dan agar dirinya dapat bebas dalam melalukan pembelasn diri di muka sidang.

Namun, hakim justru beralasan bahwa aturan mengenai sidang online masih berlaku hingga saat ini, dan karena adanya mobilisasi masa di sekitar area pengadilan yang telah membuat Mulyanto tidak bisa dihadirkan secara langsung. Bahkan, hakim meminta agar Terdakwa dan Penasihat Hukumnya membuat surat jaminan agar tidak terjadi lagi mobilisasi masa.

Alasan hakim yang meminta agar massa tidak melakukan demonstrasi di depan pengadilan, seharusnya dapat dipertanyakan. Terutama kaitannya dengan pelanggaran terhadap kebebasan berkumpul dan berpendapat di ruang publik. Hal demikian juga bertentangan dengan prinsip peradilan yang dibuka dan terbuka untuk umum.

Atas hal tersebut, LBH Kalbar dari awal persidangan Mulyanto sudah meminta pemantauan sidang kepada Penghubung Komisi Yudisial Kalbar, seharusnya Komisi Yudisial dalam melihat dan mencatat tindakan hakim tersebut.

Di sisi lain, pada hari yang sama, sekira Pukul 14.30 WIB, Aliansi Buruh Bengkayang dan Sambas melakukan laporan Pelanggaran HAM kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Kalimantan Barat.  Substansi pelaporan ini merujuk pada pelanggaran hak atas pekerjaan yang layak serta kesejahteraan sosial, yang dilakukan oleh Duta Palma Group/Darmex Plantation Group, berkaitan dengan pengerahan kekuatan aparat secara berlebihan, pelanggaran terhadap kebebasan berkumpul dan menyampaikan pendapat di muka umum, intimidasi, dan kekerasan oleh aparat Kepolisian, serta kriminalisasi yang merupakan upaya hukum strategis untuk melawan partisipasi publik (strategic lawsuit against public participation/SLAPP) dan/atau penggunaan hukum pidana secara sewenang-wenang yang dilakukan oleh Polda Kalbar dan Kejaksaan Negeri Pontianak.

Tak hanya itu, pengaduan tersebut juga menyoroti praktik kriminalisasi yang dianggap sebagai strategi untuk menekan partisipasi publik, serta penyalahgunaan hukum pidana oleh lembaga kepolisian dan kejaksaan. Hal ini menunjukkan perhatian yang serius terhadap upaya perlindungan hak asasi manusia. Tidak lupa Aliansi Buruh melalui beberapa perwakilannya juga telah melaporkan upaya pembatasan mengenai sidang Mulyanto.

Dengan adanya putusan sela,  proses persidangan akan tetap dilanjutkan ke pemeriksaan pokok perkara. Adapun agenda sidang berikutnya dengan agenda menghadirkan saksi dari JPU akan digelar pada tanggal 29 April 2024.

Bagikan Berita