Pemuda Gereja Protestan di Indonesia Timur, Bekali Diri Kampanyekan Keadilan Iklim

Minahasa – “Torang Semua Besaudara, Torang Semua Ciptaan Tuhan, apa yang di atas bumi diciptakan Tuhan semua, sehingga kita seharusnya mencintai tidak hanya kepada sesama manusia saja namun tapi juga mencintai lingkungan yang diciptakan oleh Tuhan,” ucap Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey, saat membuka acara Training Climate Justice, 12 Juni 2024 di Gereja GMIM Imanuel Jemaat Koya, Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

Olly mengungkapkan keprihatinannya terhadap pengelolaan pertambangan yang hanya menguntungkan pemodal besar. “Tuhan memberikan harta benda kekayaan alam mestinya harus bisa dikelola bagi masyarakat yang ada di situ,” ujar Olly yang mengaku berhasil mencabut 38 IUP tambang di Sulawesi Utara. Ia menegaskan bahwa sampai hari ini tidak ada lagi IUP tambang yang Ia keluarkan. “Pengalaman saya, di daerah pertambangan, masyarakat sekitar tidak ada yang mendapatkan nilai tambah yang baik. Selalu hanya mereka yang punya modal besar yang mendapatkan nilai tambah,” lanjutnya.

Olly berpesan agar peran gereja terkait isu lingkungan perlu didalami, agar generasi di masa depan depan tidak menghadapi kerusakan lingkungan yang lebih parah. Menurutnya, training ini penting untuk meningkatkan kesadaran bersama, terutama generasi muda. “Kerja-kerja terkait isu lingkungan ini, perlu menjadi perhatian kita bersama, dan memiliki peran yang penting dalam bermasyarakat,” imbuh Olly.

Pendeta Rudy Ririhena, Ketua Umum Badan Pelaksana Harian Majelis Sinode AM GPI merujuk pada Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2003, bahwa perubahan iklim telah menyebabkan cuaca ekstrim di seluruh dunia, dengan kerugian yang semakin meningkat  seiring meningkatnya suhu global. “Lembaga keagamaan tidak boleh menutup mata dari perubahan iklim, karena kita yakin Tuhan yang telah menciptakan dunia dan isinya, dan Tuhan memberi kepecayaan kepada kita untuk menjaganya,” kata Pdt. Rudy.

Ia mengungkapkan bahwa kehadiran tim GreenFaith Indonesia menunjukkan inklusivitas GPI. “Kami siap dan mau bekerja sama dengan lembaga apapun dan agama apapun, demi kepentingan dan kesadaran terhadap alam dan lingkungan hidup yang semakin memprihatinkan,” ungkapnya. Pdt. Rudy berharap agar para peserta dapat menindaklanjuti dan meneruskan hasil training ini kepada daerah pelayanan masing-masing, dan akan dimonitor, agar kegiatan terus berlanjut dan berproses.

Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia, Hening Parlan, memperkenalkan bahwa GreenFaith adalah sebuah organisasi di dunia yang dimulai 22 tahun yang lalu di Amerika, dan bekerja membangun awareness, edukasi, dan kampanye tentang lingkungan dan keberagaman bersama teman-teman multi-faith. Sedangkan GreenFaith Indonesia sudah kali keenam berkolaborasi menyelenggarakan training serupa bersama Gereja Protestan di berbagai daerah di Indonesia. “72% dari warga dunia adalah kelompok yang memiliki agama. Di Indonesia, ada 98% warga itu memiliki agama. Artinya kalau mau melakukan perubahan apapun itu, maka powerful sekali apabila kita mau bekerja, untuk bekerja bersama-sama multi-faith ini,” urai Hening.

Menurut Hening, karena bumi kita cuma satu, dan satu bumi untuk semua, maka pekerjaan untuk menyelamatkan bumi adalah pekerjaan untuk sesama manusia. “Di training ini kita akan belajar bersama apa itu keadilan iklim dari berbagai berbagai perspektif agama atau keyakinan yang ada di Indonesia, sehingga kita akan mengetahui bahwa semua agama punya tanggung jawab yang sama dalam menjaga bumi,” terangnya.

“Kita juga akan mempelajari kolonialisme, loss and damage, serta beragam skill kampanye, seperti mengelola sosial media dengan baik, membuat video pendek, berhubungan dengan publik, melakukan advokasi, menulis, termasuk skill bagaimana menjaga dan merawat kerelawanan,” imbuhnya.

Pendeta Hein Arina, Ketua Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS) Gereja Masehi Injil di Minahasa (GMIM) menyebut bahwa kolaborasi GPI dengan GreenFaith Indonesia merupakan suatu upaya dari interfaith coalition untuk memperhatikan lingkungan. ”Saya harap teman-teman di sini, bisa menyampaikan materi pelatihan ini sebagai materi yang disampaikan baik pada saat pengajaran, khotbah, dan pelaksanaan berbagai kegiatan pemuda dan remaja Gereja Masehi Injil di Minahasa,” ungkapnya.

Bumi sedang tidak baik-baik saja, bakan menuju Kiamat Ekologis, demikian kata Pdt. Krise Gosal, Wakil Sekretaris Umum PGI. “Dokumen Keesaan Gereja DKG-PGI menyebutkan persoalan kerusakan ekologis saat ini menuju Kiamat Ekologis besar yang harus dihadapi dan dicarikan solusinya.” Salah satu penyebab kerusakan ekologis adalah eksploitasi atas sumber daya alam sebagai bukti kerakusan tanpa batas dari para pelaku bisnis dan elit politik demi keuntungan sebesar-besarnya.

“Alam Raya àdalah Sacramentum Allah, sebagai mitra hidup yang mesti dirawat dan salah satu cara melawan kerakusan adalah dengan spiritualistas Ugahari. Kita harus mengendalikan diri dari kenikmatan, berbagi dengan sesama, dan keberanian menolkan segala bentuk kebijakan / produk hukum / perilaku, dan aktivitas yang merusak keharmonisan hidup, dan memusnakan hak hidup sesama manusia dan mahluk hidup lainnya,” kata Pendeta Krise.

Sepanjang sejarah, eksploitasi alam yang dilakukan manusia seringkali berbalut alasan agama seperti Gold, Glory, Gospel yang diusung bangsa Eropa ketika menjajah Indonesia. “Gold, Glory, dan Gospel atau Kekayaan, Kekuasaan, dan Keimanan dibungkus menjadi pembenaran atas deforestasi hutan di Jawa dan Sumatera semasa penjajahan Belanda sejak kedatangan Cornelis de Houtman pada 1895 di Banten,”kata Nita Roshita dari GreenFaith Indonesia. “Penjajahan itu telah mengubah tata ruang dan lansekap Indonesia dan kita yang tinggal hari ini merasakan akibatnya. Sayangnya pola-pola ekploitatif dalam kebijakan yang hanya memikirkan kepentingan ekonomi seperti di masa kolonial ini, masih dipelihara dan mendarahdaging dalam kebijakan di Indonesia, dan krisis iklim semakin sulit dihentikan lajunya. Kita sedang menuju Kiamat Ekologi,”tutup Nita.

Christian Purba, dari Badan Pengawas FWI dan Direktur IFM-FUND sepakat dengan pernyataan bahawa kondisi alam Indonesia yang terus makin memburuk. “Data peta deforestasi di Indonesia tahun 2000-2017 menunjukkan alih fungsi lahan hutan menjadi Perkebunan terjadi besar-besar di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Saat ini Indonesia bagian timur adalah garda terakhir penyelamatan alam Indonesia,” kata Christian.

Setiap kali bencana alam akibat kerusakan yang dibuat manusia, perempuan menjadi korban terbesar, salah sebabnya menurut Christian adalah akses yang terbatas bagi perempuan terhadap sumber daya, pengetahuan, pendidikan yang menyebabkan perempuan sulit beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. “Kerentanan perempuan semakin tinggi bagi mereka yang hidup di daerah miskin yang sangat terbatas infrastruktur dan sumber daya. Kondisi juga diperparah dengan kebijakan yang seringkali belum mempertimbangkan kebutuhan dan kerentanan perempuan terhadap akses sumber daya dan layanan yang diperlukan,”tutup Christian.

Dalam pelatihan Keadilan Iklim ini, peserta yang berjumlah 34 orang mewakili 11 Gereja Protestan di wilayah Indonesia Timur ditantang untuk memetakan permasalahan lingkungan yang ada di sekitar gereja. Peserta kemudian menyusun rencana aksi dan strategi komunikasi yang tepat untuk meningkatkan kepedulian umat dan mengajak aksi nyata bersama mengatasi permasalahan lingkungan tersebut. Di antara permasalahan yang ingin diselesaikan oleh peserta adalah penyadartahuan tentang bahaya tambang terhadap lingkungan dan masa depan generasi muda, aksi nyata pemilahan dan pengolahan sampah di gereja, dan bahaya eceng gondok bagi ekosistem Danau Tondano.

Bagikan Berita