Katarina Roet (40), seorang Perempuan Tani dari Dusun Samantakin, Desa Suak Barangan, Kalimantan Barat, adalah penjaga warisan budaya pertanian padi lokal. Ia mengolah ladang peninggalan orang tuanya dan menerapkan pengetahuan yang bijaksana dalam bertani. Praktik pertanian lokal yang dilakukannya tidak hanya untuk menopang hidup, tetapi juga untuk menjaga kesuburan tanah, sejalan dengan budaya dan ekonomi yang diwariskan leluhurnya.
Meskipun ada anggapan bahwa menanam padi lokal adalah cara kuno dan bukan pertanian berkelanjutan, Katarina tetap konsisten melestarikannya. Di tengah gempuran pertanian industri, perladangan padi lokal yang dilakukannya dinilai lebih murah dan efektif dalam menjaga kesuburan tanah serta mengendalikan hama. Baginya, menanam padi lokal adalah sebuah keharusan, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga sebagai tanggung jawab terhadap kondisi lingkungan alam sekitarnya.
Agar panen melimpah, Katarina tidak sembarangan dalam mengolah lahan. Ia selalu melakukan ritual adat bersama keluarganya sebelum memulai aktivitas pertanian, sebuah tradisi yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Dalam berladang, ibu tiga anak ini tidak sendiri, melainkan ditemani oleh kelompok tani yang disebut aleatn uma.
Varietas padi yang ditanamnya, seperti Payang dan Mayam, tumbuh di lahan rawa (tanah tawang), sementara Lingka’ Samunt, Palawang, dan Amunt ditanam di lahan kering atau perbukitan (moton). Jenis-jenis padi lokal ini adalah warisan turun-temurun dari orang tuanya.
Mengolah Tanah, Menghidupi Budaya
Selama masa perawatan, Katarina menggunakan tembakau, akar, atau tumbuhan dari hutan untuk membasmi hama. Ia juga memanfaatkan peran hutan yang dapat mengurai hama seperti tikus dan burung pipit. Untuk pupuk, ia hanya mengandalkan lapukan dan abu sisa pembakaran rumput saat pembukaan lahan.
Saat panen tiba, Katarina juga melakukan ritual adat bersama keluarga sebelum memulai. Setelah padi dipanen bersama aleatn uma, mereka melakukan ritual khusus di ladang yang disebut sembahyang di uma. Setelah seluruh masyarakat desa selesai panen, mereka akan mengadakan upacara adat naik dango untuk mengucap syukur kepada Nek Jubata (sang pencipta) atas hasil panen yang melimpah.
Upacara naik dango mencakup tiga aspek: aspek agraris (kehidupan masyarakat penanam), aspek keagamaan (rasa syukur kepada pencipta), dan aspek kekeluargaan (menjunjung tinggi solidaritas dan persatuan).
Siasat Cerdik Mengakali Ekspansi Pertanian Industrialis
Suatu sore di teras rumahnya, Katarina bercerita tentang perubahan pola pertanian di desanya. “Sekitar tahun 2012/2013, pemerintah menyarankan masyarakat untuk menanam padi PB/unggul yang bisa dipanen kurang dari 3 bulan,” katanya. Pola pertanian modern ini menggunakan alat dan mesin, serta pupuk dan pestisida kimia. Benihnya pun didatangkan dari luar Kalimantan, seperti varietas Ciherang, Mekongga, Inpari, dan jenis lain-lainnya.
Perubahan ini sempat menimbulkan pro dan kontra. Ada yang khawatir budaya leluhur akan terkikis, namun ada juga yang menyambut baik karena hasil pertanian bisa menjadi sumber penghasilan yang lebih menjanjikan.
Seiring waktu, kekhawatiran dan harapan itu terbukti. Masyarakat perlahan meninggalkan kearifan lokal. Di sisi lain, mereka merasa terbantu karena hasil panen bisa dijual dengan nilai ekonomi lebih. Namun, ironisnya, mereka menjadi bergantung pada tengkulak dan sering mengeluhkan keterlambatan pupuk subsidi.
Karena pertanian modern sangat bergantung pada pupuk, keterlambatan pemupukan bisa berdampak besar pada hasil panen. Pola tanamnya pun tidak mengenal siklus atau jeda, sehingga lahan terus diolah. Hal ini membuat kualitas tanah menurun dan ketergantungan pada pupuk serta zat kimia semakin tinggi.
Pertanian ‘Lokal’ Tak Lekang oleh Zaman
Meskipun sebagian masyarakat telah beralih ke pertanian modern, Katarina tidak pernah berniat mengubah cara bertaninya. Ia meyakini bahwa menanam padi lokal membawa berkah yang abadi. Baginya, jika bukan dia yang melestarikan budaya ini, siapa lagi?
Katarina khawatir tradisi ini akan hilang akibat ekspansi padi unggul dan perkebunan kelapa sawit yang marak di desanya. Ia juga percaya bahwa kemunculan hama baru seperti walang sangit (limpangau), keong mas, dan burung pipit adalah akibat berkurangnya hutan dan penggunaan zat kimia.
Bersama komunitasnya, Katarina berupaya keras agar budaya pertanian lokal ini tidak berhenti pada dirinya, tetapi dapat diteruskan oleh keturunannya. Menurutnya, merawat budaya pertanian lokal adalah kunci untuk menjaga hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Penulis: Pemuda Antar Lintas Sub-budaya
Catatan: Tulisan ini pernah terbit di website kelasbersama.id (Tempo Institute). Kini diterbitkan ulang oleh dialektis.id atas izin penulis.
Merawat Budaya Pertanian Lokal





