Aktivis Lintas Kalimantan Respon Polusi Asap Karhutla: Serukan Climate Action!

Ilustrasi Kabut Asap Akibat Karhutla Menyelimuti Kalimantan. (Dok. Gemawan.org)

Pontianak – Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) kembali terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Terakhir, kebakaran hutan menyebabkan kondisi udara di sebagian kota dan kabupaten sempat dinobatkan sebagai daerah yang menduduki peringkat pertama dengan indeks polusi udara PM2.5 oleh IQAir.

Particulate Matter PM2.5 adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 2.5 µm (mikrometer).

Sementara, PM10 merupakan partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 10 mikron (mikrometer), bentuknya bisa berupa asap, debu, jelaga, garam, asam, dan logam.

Bencana tahunan di kala musim kemarau terus menjadi momok yang mengkhawatirkan bagi seluruh masyarakat yang terdampak oleh asap Karhutla dan sangat mempengaruhi berbagai aspek.

Berdasarkan Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan Nomor KEP-45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) dikategorikan ‘baik’ jika berada di rentang 0-50. Sedangkan 50-100 dikategorikan ‘sedang’. 101-199 masuk kategori ‘tidak sehat’, 200-299 dikategorikan ‘sangat tidak sehat’, dan lebih dari 300 dikategorikan ‘berbahaya’.

Hingga kini kepulan asap tebal masih menyelimuti wilayah di Kalimantan. Beberapa wilayah seperti Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah masih diselimuti kepulan asap tebal akibat Karhutla.

Saat dihubungi pada, Sabtu (19/08/2023)
Roro Garini, aktivis YouthAct Kalimantan dan Co-Founder Ranu Welum Foundation menjelaskan fenomena iklim El Nino memicu kekeringan dan kemarau panjang di Kalimantan. Meluasnya Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di banyak titik di Kalimantan karena El Nino yang diperkirakan mencapai puncak pada September 2023.

“Pastinya kita tahu beberapa wilayah telah merasakan dampak. Bersamaan dengan ini juga pastinya kualitas udara kita semakin tercemar, semakin buruk, bahkan semakin sangat berbahaya,” katanya.

Ia menambahkan, melalui alat pengukur kualitas udara yang dipantaunya di Palangkaraya, tampak perubahan udara yang sangat drastis. “Alat ini mampu mengukur partikel terkecil dalam udara di sekeliling kita, termasuk PM2.5,” jelasnya.

“Terlihat udara di wilayah kami berubah-ubah tidak stabil. Telah muncul banyak kebakaran, banyak muncul titik api. Info yang kami dapatkan sekarang ini di Kalimantan secara keseluruhan ada hampir 2.000 titik api. Bayangkan aja betapa buruknya udara kita seperti itu. Kita tidak mau kejadian seperti tahun 2015 dan 2019 terulang kembali,” tegasnya lagi.

Pekatnya asap menyebabkan langit Kalimantan tak lagi biru saat karhutla 2015 dan 2019. Roro menyebut risiko mematikan akibat menghirup PM2.5 yang terkandung dalam asap.

“PM2.5, partikulat mikro ini yang sebenarnya masyarakat harus tahu, supaya juga bisa berjaga-jaga mulai dari sekarang. Jadi partikulat mikro yang sering kita sebut dengan PM2.5 ini yaitu partikulat yang empat kali lebih kecil dari debu bahkan tidak bisa kita lihat dengan mata kita,” terangnya.

Roro menjelaskan PM2.5 ini terbawa dari asap hasil Karhutla dan tercampur juga dengan polusi-polusi udara yang lainnya. PM2.5 yang terhirup manusia akan tercampur dalam sistem peredaran darah. “Apabila telah tertumpuk bisa menyebabkan gagal jantung, stroke, sesak nafas, kanker paru-paru bahkan bisa menyebabkan kematian,” ujarnya.

Roro menyebut ketika kabut asap yang terjadi pada tahun 2015 dulu, level PM2.5 mencapai 14.800 plus per kubik feet. “Ini sama saja dengan kita menghisap 672 batang rokok dalam sehari. Itulah yang sangat berbahaya ketika angka kualitas udara ini semakin naik seperti itu,” ujar dia.

Menurut WHO, batas aman kandungan PM2.5 berada di angka 25 M³. Sementara bila merujuk Pemerintah, batas aman berada pada angka 65. “Kalau kita mau jabarkan lagi tentang kandungan batas amannya, 0-15 itu baik, 16-56 itu sedang, dan 66-150 tidak sehat bagi yang rentan atau sensitif. Yang rentan atau sensitif ini seperti orang tua, lansia, bayi seperti itu, bahkan orang-orang yang memiliki gangguan pernafasan itu rentan udah kalau misalnya batas udaranya itu 66-150,” ungkapnya lagi.

Kemudian, lanjutnya, 151-250 menandakan sangat tidak sehat. “Itu sudah harus pakai masker. Bila lebih dari 250 itu sudah berbahaya. Sedangkan kemarin kita sempat ukur Palangkaraya berada di 375, berarti kita sekarang dalam posisi dalam berbahaya, walaupun masih belum stabil. Ada tempat-tempat yang partikulat mikronya sudah tinggi,” urainya.

Dia menghimbau kepada masyarakat agar menggunakan masker N95 untuk melindungi dari PM2.5. “Mulai aktif ya untuk menggunakan masker apabila keluar rumah. Apabila mau bergerak bersama-sama menjaga wilayah kita, teman-teman juga bisa bergabung dalam tim relawan ataupun pergerakan yang ada untuk bersama-sama mencegah kebakaran tidak meluas,” imbuhnya.

“Ayo kita menjadi relawan bersama-sama. Menjadi relawan itu tidak hanya untuk pemadaman tetapi kamu juga bisa menjadi perpanjangan tangan, seperti bagian informasi di media sosial untuk cepat tanggap dalam lokasi titik-titik api, agar cepat tertangani, jadi tim logistik atau tim kesehatan. Kita bisa sama-sama bergerak, yang penting kita jangan hanya berdiam aja, kita jangan cuma menunggu, mari kita bersama-sama bergerak untuk menjadi solusi untuk keselamatan kita bersama,” pungkas Roro.

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan