Lisabon – Tokoh Dayak Iban Sungai Utik meraih penghargaan kemanusiaan Gulbenkian Prize di Portugal.
Bandi atau Apai Janggut, tuai rumah panjai Dayak Iban Sungai Utik menerima penghargaan Gulbenkian Prize for Humanity ke-4 dari Yayasan Calouste Gulbenkian di Lisabon, Portugal.
Apai Janggut bersama Cécile Bibiane Ndjebet dari Kamerun, dan Lélia Wanick Salgado, dari Brazil terpilih dari 143 orang nominasi dari 55 negara menerima penghargaan Gulbenkian Prize for Humanity.
Mereka bertiga diakui telah berjasa selama puluhan tahun untuk menjaga dan memulihkan ekosistem penting secara lokal demi keseimbangan ekologi dunia dan memitigasi dampak perubahan iklim global.
Apai Janggut yang sebelumnya menerima penghargaan Kalpataru dan Equator Prize UNDP ini dikenal luas sebagai penjaga kawasan hutan Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat karena puluhan tahun membela lingkungan dari penebangan liar, alih fungsi hutan, produksi minyak sawit, dan kepentingan perusahaan.
Adalah Bandi anak Ragai atau yang akrab dipanggil Apai Janggut (Pak Janggut) yang merupakan tuai rumah panjai (kepala rumah panjang) Dayak Iban Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat mendapatkan penghargaan Gulbenkian Prize for Humanity ke-4 dari Yayasan Calouste Gulbenkian di Lisabon, Portugal.
Mantan Kanselir Jerman, Angela Merkel, turut terlibat dalam pemilihan pemenang Gulbenkian Prize ini. Apai Janggut meraih penghargaan ini berkat komitmennya dalam melestarikan lingkungan.
Berdasarkan rilis resmi Kementerian Luar Negeri RI, pada Minggu (23/07/2023). Penghargaan ini diberikan oleh António Feijó, Presiden Yayasan Gulbenkian dan Angela Merkel yang merupakan Ketua Juri Gulbenkian Prize for Humanity.
Turut hadir dalam acara yakni Presiden Portugal Marcelo Rebelo de Sousa dan PM Portugal Antonio Costa.
Apai Janggut merupakan Tuan Rumah Panjang Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik. Ia menyampaikan pentingnya hutan sebagai sumber kehidupan.
“Hutan adalah sumber hidup kami, yang sudah diturunkan oleh leluhur kami sejak dulu. Menjaga hutan adalah bagian dari budaya kamim karena di dalam hutan tersebut terdapat ladang kami, tanaman obat, sungai, kuburan keramat leluhur kakek nenek kami yang sudah meninggal yang harus kami jaga. Kami bangga, aksi kami ternyata bermanfaat bagi dunia,” ujar Apai Janggut.
Selain Apai Janggut, dua pemenang lainnya adalah Cécile Bibiane Ndjebet dari Cameroon dan Lélia Wanick Salgado dari Brazil.
Cécile Bibiane Ndjebet adalah pakar agronomi, sementara Lélia Wanick Salgado adalah pakar lingkungan, desainer, dan skenografer.
Dalam acara Gulbenkian Prize for Humanity ke-4 di Portugal ini, Apai Janggut juga didampingi oleh Raymundus Remang, selaku Kepala Desa Sungai Utik, Joni Manehat dari Komunitas Sungai Utik, dan Yani Saloh, Friends of Sungai Utik.
*Dukung Perlindugan Hutan*
Dalam acara penghargaan ini, turut hadir Duta Besar RI untuk Portugal, Rudy Alfonso. Ia menggarisbawahi komitmen pemenang dalam perlindungan hutan.
“Penghargaan ini diberikan sebagai apresiasi bagi mereka yang menunjukkan komitmen luar biasa terhadap aksi lokal dan gerakan berbasis masyarakat, yang mendukung perlindungan hutan dan restorasi ekosistem,” ujar Dubes Rudy.
Para pemenang disebut akan menerima hadiah yang ditujukan untuk mendukung dan melanjutkan kegiatan yang sudah dilakukan, agar dapat meningkatkan aksi kerja mereka bagi restorasi ekosistem dan upaya mengatasi isu perubahan iklim, baik di tingkat tapak, nasional maupun global.
“Hadiah ini sangat berguna bagi kami, akan kami gunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menyiapkan mereka dalam menghadapi tantangan ke depan, untuk peningkatan kapasitas generasi muda kami, dan menyiapkan pendidikan yang lebih baik. Selain itu juga untuk mengembangkan alternatif pendapatan jangka panjang seperti ekowisata dan PES (Payment Ecosystem Services),” imbuh Remang, Kepala Desa Batu Lintang, masyarakat Sungai Utik, yang turut mendampingi Apai Janggut.
Pihak Kemlu RI menyorot bahwa Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik sebelumnya telah mendapatkan penghargaan nasional Kalpataru dari pemerintah Indonesia, dan UNDP Equator prize pada tahun 2019, atas upaya mereka mempertahankan hutannya dari penebangan liar, perambahan dan konversi lahan oleh perusahaan.