Jakarta – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memprediksi fenomena El Nino bakal mencapai puncaknya pada September 2023. Prediksi BRIN ini berbeda dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang menyebut fenomena iklim pemicu turunnya curah hujan itu akan mencapai puncaknya bulan Agustus ini.
Eddy Hermawan, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA) BRIN mengatakan dia menemukan terjadinya pergeseran puncak El Nino yang diprediksi pada akhir September-Oktober, berdasarkan kajiannya dari berbagai literatur ilmiah.
“El Nino tahun 2023 tergolong unik karena puncaknya diduga bakal terjadi akhir September/awal Oktober 2023, tidak pada bulan November/Desember seperti pada umumnya. Selain itu, durasinya pun tergolong relatif pendek (berakhir hingga awal tahun 2024),” kata Eddy, mengutip laman resmi BRIN, Jumat (04/08/2023). Seperti Dilansir dari CNN Indonesia.
Eddy menjelaskan dampak El Nino tahun ini cenderung mengarah ke moderat atau bahkan menuju ke netral dengan nilai 0-1,5, sehingga dampak yang ditimbulkan kurang signifikan.
Namun, menurut Eddy kemunculan El Nino tetap perlu diwaspadai. Pasalnya, El Nino tahun ini relatif stabil atau konstan sejak akhir Agustus hingga akhir Desember 2023 dengan tingkat probabilitas yang relatif tinggi (di antara 90 persen – 100 persen).
Menurut Eddy saat ini dampak El Nino juga sudah dirasakan di wilayah timur Indonesia. Indikasi kebakaran hutan juga sudah terlihat.
“Kecil kemungkinannya terjadi musim kemarau basah, mengingat Indian Ocean Dipole (IOD) sudah tidak lagi menuju fase negatif, ” ungkap dia.
Fadli Syamsudin, Koordinator Pelaksana Fungsi Direktorat Kebijakan, Lingkungan Hidup, Kemaritiman, Sumber Daya Alam, dan Ketenaganukliran BRIN menjelaskan dari berbagai kajian ada kecenderungan El Nino tahun ini tidak akan terjadi penguatan yang ekstrem. Kendati begitu, pemerintah perlu tetap waspada dalam mengantisipasi dampak El Nino.
Fadli menjelaskan dampak El Nino di Indonesia belum merata. Namun, ada beberapa daerah di bagian timur sudah mengalami kekeringan yang berdampak pada sektor pertanian.
“Kami berusaha membantu untuk mengambil case area, salah satunya dengan melihat informasi prediksi iklim ke depan, dan bekerja sama yang kaitannya dengan komunitas-komunitas pertanian,” ungkap Fadli.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati sebelumnya mengungkap puncak El Nino akan terjadi mulai Agustus hingga September. Hal ini diungkapkannya setelah mengikuti rapat di Istana Kepresidenan pertengahan Juli lalu membahas kesiapan menghadapi ancaman El Nino.
“Tadi kami bersama Bapak Presiden dan Bapak Wakil Presiden, Bapak Menko dan beberapa menteri membahas tentang antisipasi dan kesiapan dalam menghadapi ancaman El Nino yang diprediki puncaknya akan terjadi di bulan Agustus-September,” kata Dwikorita saat itu.
“Dan El Nino ini intensitasnya lemah hingga moderat, sehingga dikhawatirkan akan berdampak pada ketersediaan air atau kekeringan, juga produktivitas pangan atau berdampak terhadap ketahanan pangan,” lanjutnya.
El Nino merupakan fenomena pemanasan muka air laut di Samudera Pasifik yang berdampak pada penurunan curah hujan global, termasuk di Indonesia.
BMKG sempat mengungkap potensi kemarau kering imbas kemunculan El Nino. Terlebih ada potensi kebangkitan fenomena sejenis dari Samudera Hindia berupa Indian Ocean Dipole (IOD) pada periode yang sama.
Kendati begitu, Dwikorita tetap mewanti-wanti soal potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir. Kondisi geofrafis Indonesia memainkan peran.
“Meskipun kita masuk musim kemarau kering, tetapi karena wilayah Indonesia ini dipengaruhi oleh dua samudera dan juga topografinya yang bergunung-gunung di khatulistiwa, masih tetap ada kemungkinan satu wilayah mengalami kekeringan, tetangganya mengalami banjir atau bencana hidrometeorologi,” jelas dia.
Peneliti Ahli Utama PRIMA BRIN Edvin Aldrian beranggapan jika perbedaan dampak iklim di beberapa wilayah Indonesia tidak hanya dipengaruhi El Nino, tapi juga bisa dari pemanasan global. Ia melihat keduanya memiliki kekuatan yang sama.
“Ini yang jadi pertanyaan di Indonesia kenapa masih terjadi hujan,” ucap Edvin.
Menurut Edvin kondisi El Nino sudah terboservasi. Temperatur suhu muka laut daerah khatulistiwa (SSTs) di atas rata-rata di pusat hingga timur Samudera Pasifik. Anomali kondisi suhu muka laut di daerah khatulistiwa konsisten dengan kondisi El Nino yang lemah.
Hal ini sejalan dengan Ikhtisar Cuaca BMKG yang menyebut Indeks NINO 3,4 yang mengindikasikan tingkat El Nino berada pada angka +1.0. Angka itu menunjukkan bahwa El Nino yang muncul saat ini masih dalam kondisi lemah.
Namun begitu, menurutnya perlu sinyal El Nino Souther Oscillation (ENSO) yang kuat agar dampak El Nino bisa terdeteksi. Apabila sinyal ENSO tidak kuat, ada kemungkinan kemarau basah terjadi.
Hal ini dikarenakan suhu laut Indonesia akan lebih tinggi dari musim kemarau atau masa sinyal peralihan dari kemarau dan basah, ketika suhu laut tinggi karena ada fenomena global warming.
Sampai kapan efek El Nino?
El Nino diprakirakan akan terjadi hingga akhir tahun. Menurut BMKG saat ini sekitar 63 persen wilayah Tanah Air sudah masuk musim kemarau dan terdampak El Nino.
“El Nino masih akan bertahan sampai akhir tahun. Tapi dampaknya seiring dengan datangnya musim hujan makin berkurang. Sebab November sudah ada mulai hujan,” kata Fachri Radjab, Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG.
Menurut Fachri BMKG membuat zona musim atau ZOM. Kemudian, mereka membagi ZOM di Indonesia menjadi 699.
“Saat ini sudah 63 persen dari 699 itu yang sudah memasuki periode kemarau. Artinya, yang sudah terdampak langsung dari El Nino itu sudah sekitar 63 persen wilayah zona musim tadi,” ujar dia.
El Nino adalah fenomena atmosfer yang disebabkan oleh peningkatan suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian timur. Peningkatan suhu ini membuat berkurangnya udara basah yang dibawa ke wilayah Indonesia.
Dengan demikian, udara yang masuk ke wilayah Indonesia relatif kering dan membuat beberapa perubahan seperti curah hujan yang berkurang, tutupan awan yang berkurang, dan suhu yang semakin tinggi.
“Di Indonesia dampak yang paling terasa adalah berkurangnya curah hujan. Ketika kita di musim kemarau ditambah El Nino, jadi semakin kering wilayah kita,” ujar Fachri.
Beberapa daerah yang akan terdampak cukup kuat adalah sebagian besar wilayah Sumatra seperti Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Riau, Bengkulu, Lampung. Seluruh Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara diprediksi memiliki curah hujan paling rendah dan berpotensi mengalami musim kering yang ekstrem.
Selain wilayah-wilayah tersebut, prakiraan curah hujan bulanan BMKG menunjukkan sebagai besar wilayah Indonesia akan mengalami curah hujan bulanan kategori rendah bahkan sebagian lainnya akan mengalami kondisi tanpa hujan sama sekali hingga Oktober nanti.
“Jadi harus tetap waspada akan potensi terjadinya kekeringan,” kata Fachri.
Sektor paling terdampak dari fenomena El Nino adalah sektor pertanian, terutama tanaman pangan semusim yang sangat mengandalkan air. Rendahnya curah hujan pastinya akan mengakibatkan lahan pertanian kekeringan dan dikhawatirkan menyebabkan gagal panen.