Bukan Sekadar Penebang, Siapa Di Balik Peredaran Kayu Ulin Ilegal di Kalbar ?

dialektis.id – Kasus penangkapan pelaku perdagangan kayu ulin ilegal di Kubu Raya pada awal Oktober lalu seolah membuka kembali luka lama yang belum pernah benar-benar sembuh di Kalimantan Barat. Ratusan batang kayu ulin tanpa dokumen resmi yang diamankan aparat hanyalah potret kecil dari persoalan besar hutan yang terus tergerus oleh kepentingan ekonomi dan lemahnya pengawasan. Setiap kali aparat bertindak, publik seperti diingatkan bahwa di balik deru pembangunan, masih ada ruang gelap yang memperjualbelikan masa depan lingkungan kita.

Dalam perspektif hukum, tindakan Gakkum Kehutanan patut diapresiasi. Penegakan hukum memang perlu, dan ketegasan adalah sinyal penting bagi para pelaku kejahatan lingkungan. Namun, bila setiap tahun kasus serupa terus berulang, bukankah itu pertanda bahwa kita belum menyentuh akar masalahnya? Bukan hanya pada pelaku lapangan, tetapi pada sistem ekonomi yang menempatkan hutan sekadar sumber kayu, bukan sumber kehidupan.

Sebagai seseorang yang tumbuh di Kalimantan Barat dan melihat langsung bagaimana masyarakat hidup berdampingan dengan hutan, saya memahami dilema itu. Ketika akses ekonomi terbatas, sebagian warga di pedalaman kerap menjadi bagian dari rantai peredaran kayu ilegal, bukan karena keinginan jahat, melainkan karena tiada alternatif lain. Dalam situasi ini, hukum yang keras perlu disertai dengan kebijakan yang berkeadilan dapat memberi ruang bagi masyarakat untuk hidup layak tanpa harus merusak lingkungan.

Kasus kayu ulin juga menunjukkan bagaimana keanekaragaman hayati kita masih sangat rentan. Ulin bukan sekadar kayu keras yang bernilai tinggi, tetapi simbol ketahanan dan kearifan ekologi Nusantara. Setiap batang ulin yang ditebang tanpa izin berarti hilangnya satu bagian dari sistem alam yang bekerja menjaga keseimbangan bumi. Dan kehilangan itu tidak bisa ditebus dengan sekadar penangkapan atau denda. Ia menuntut perubahan cara pandang kita terhadap hutan.

Dalam konteks komunikasi iklim, pemberitaan semacam ini seharusnya tidak berhenti pada narasi kriminalitas. Media memiliki tanggung jawab moral untuk menelusuri lebih dalam mengapa praktik ini masih terjadi, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana masyarakat bisa dilibatkan dalam solusi. Jurnalisme lingkungan seharusnya tidak hanya menginformasikan, tetapi juga menggerakkan kesadaran publik bahwa kerusakan hutan adalah kerusakan bersama.

Saya percaya, menjaga hutan berarti menjaga nurani. Kasus di Kubu Raya bukan sekadar urusan hukum, melainkan panggilan moral bagi kita semua. Penegakan hukum harus berjalan seiring dengan pendidikan ekologis dan pemberdayaan masyarakat. Jika tidak, kita hanya akan terus menyaksikan siklus yang sama penangkapan demi penangkapan tanpa ada perubahan yang benar-benar menyentuh akar. Hutan tidak butuh simpati sesaat, ia butuh keberanian kolektif untuk diselamatkan.

Dibuat oleh

Jamaludin, SH., CPLA

Bagikan Berita