Pontianak – Indonesia adalah magnet bagi industri sawit. Sejak tahun 1980-an, sawit menjadi primadona di Indonesia. Simbol itu bahkan diglorifikasi pada uang logam pecahan Rp. 1.000 tahun emisi 1993.
Tapi tak ada yang menyangka dibalik simbolisasi itu terdapat sobekan besar. Ekspansi perkebunan sawit besar-besaran itu melahirkan konflik meluas dan berkepanjangan antara masyarakat dan korporasi sawit. Tanah dan lahan milik masyarakat yang “diambil alih” perusahaan, kompensasi yang tak memadai, serta dampak lingkungan memicu berbagai konflik.
Hal itu yang coba direkam dalam buku berjudul Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia. “Buku ini merupakan riset kolaboratif yang dilakukan peneliti dan CSO, termasuk Gemawan,” ujar Prof. Afrizal, tim penulis buku, saat diskusi buku di Rumah Gesit Gemawan, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (30/08/2023).
Buku Kehampaan Hak ini, menurut Afrizal, merupakan kelanjutan dari riset yang telah dilakukan sebelumnya. “Dari 150 kasus, riset kami menyimpulkan sebanyak 68% kasus konflik masyarakat dengan korporasi sawit tidak terselesaikan. Bahkan rata-rata konflik yang tidak terselesaikan telah berlangsung belasan tahun,” jelas Guru Besar bidang sosiologi lingkungan dari Universitas Andalas.
“Hal ini bisa berlangsung karena ada persekongkolan antara industri sawit dan politik, sehingga hak-hak warga diabaikan,” tegasnya.
Dalam banyak hal, persekongkolan antara korporasi dan birokrasi – korporatokrasi – menggerus hak publik, termasuk hak masyarakat atas tanah mereka.
Ditempat yang sama Direktur Gemawan, Laili Khairnur, menjelaskan Gemawan bersama kelompok masyarakat sipil bersama-sama menyusun rumusan masalah dalam riset tersebut. “Selain research questions, kami juga menyusun long list kebutuhan data untuk riset ini,” ujarnya menanggapi buku yang membahas penyebab, karakter, dan akibat dari berbagai konflik antara korporasi sawit dan masyarakat di Indonesia.
Prof. Ward Berenschot, tim penulis buku, menjelaskan terminologi kehampaan hak yang dimaksud dalam buku. “Pada dasarnya warga memiliki hak secara de jure melindungi kepentingan mereka. Tetapi secara de facto, hak itu tidak diperoleh,” ujar penulis berkebangsaan Belanda.
Ia menjelaskan tiga argumen pokok buku Kehampaan Hak, yakni: pertama, kehampaan hak adalah penyebab terjadinya konflik antara komunitas perdesaan Indonesia dengan perusahaan sawit; kedua, warga merespon dalam bentuk perlawanan kehampaan hak melalui strategi protes. “Fokus strategi ini adalah mendapatkan kompensasi finansial, bukan hukum dan hak,” ucapnya.
“Argumentasi ketiga, mekanisme resolusi konflik tidak efektif karena umumnya konflik tidak terselesaikan,” katanya.
Dari buku ini, ujar Ward, ada beberapa pembelajaran yang bisa disimpulkan, yakni mendirikan badan mediasi pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota; melakukan transparansi izin HGU yang diberikan kepada perusahaan; memonitor pemenuhan kewajiban perusahaan mendapatkan free, prior dan informed consent (FPIC) dari masyarakat; Pemerintah melakukan investigasi masalah kebun plasma dan mengambil tindakan tegas terhadap korporasi yang menolak melaksanakan kewajiban; serta sanksi terhadap perusahaan yang melanggar kebijakan.