Bandung – Perempuan memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif dan toleran. Mengenali pentingnya peran ini, dokumentasi kepemimpinan perempuan dalam isu kebebasan beragama atau berkeyakinan penting untuk meningkatkan pemahaman, memperkuat advokasi, menginspirasi generasi mendatang, membangun pengetahuan, dan menjaga warisan berharga.
“Dengan mendokumentasikan kisah-kisah perempuan yang memimpin gerakan untuk kebebasan beragama atau berkeyakinan, kami berharap dapat berkontribusi pada terwujudnya masyarakat yang lebih toleran, inklusif, dan adil bagi semua,” ungkap Neneng Yanti Khozanatu Lahpan, Program Manager JISRA Fatayat NU Jawa Barat, saat memberikan sambutan pada pembukaan acara Workshop Penulisan Documenting Women Leadership on FoRB, dengan tema ‘Perempuan Penebar Damai: Suara Perempuan, Suara Kemanusiaan.
“Pertemuan workshop kali ini merupakan pertemuan pertama, sedangkan seluruh proses kegiatan penulisan dokumentasi ini akan diselenggarakan selama 8 (delapan) bulan,” kata Neneng.
Setiap lembaga partner JISRA Indonesia, urai Neneng, diminta mengirimkan minimal 3 tulisan, dengan dibantu oleh seorang pendamping. “Tulisan merupakan best practices dari perempuan yang terlibat dalam isu Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) selama program JISRA dilaksanakan,” lanjutnya.
Documenting Women Leadership on FoRB dilaksanakan di Bandung pada 5-6 Juli 2024. Acara yang diinisiasi oleh Fatayat NU Jawa Barat, dan berkolaborasi dengan Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, dan Institut Mosintuwu tersebut, dihadiri sebanyak 38 orang peserta, 6 orang di antaranya hadir secara daring melalui ZOOM. Peserta berasal dari seluruh perwakilan dan afiliasi dari 10 organisasi/ lembaga partner JISRA Indonesia, di mana masing-masing organisasi mendelegasikan 3 orang penulis dan 1 orang pendamping.
Menurut Ketua Pimpinan Wilayah Fatayat NU Jawa Barat, Hirni Kifa Hazefa, sumber perdamaian adalah cinta, “Maka penting kerja-kerja perempuan yang memberikan kontribusi terhadap perdamaian perlu diangkat ke permukaan,” ujarnya.
Workshop ini, lanjut Hirni, penting dilaksanakan karena menulis membutuhkan skill dan perlu ditingkatkan. “Meski begitu, kita tidak perlu tunggu sempurna untuk memulai menulis. Kita harus memulai, kita nggak akan mahir kalau tidak memulai,” ajaknya.
Ia berharap, kegiatan ini dapat menjadi warisan kebaikan generasi mendatang.
Sementara itu, Country Coordinator JISRA Indonesia, Mutiara Pasaribu, mengatakan bahwa perempuan-perempuan yang bekerja di isu perdamaian memiliki banyak sekali pengetahuan dan pengalaman melalui praktik di lapangan maupun yang diturunkan lintas generasi.
“Pendokumentasian pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki perempuan sering kali terlewatkan. Melalui workshop ini kita menginginkan pengalaman perempuan menjadi produk pengetahuan yang bisa menjadi rujukan ilmiah perkembangan perempuan yang bekerja di isu-isu perdamaian dan lintas agama,” ungkap Mutiara.
Ia berharap, hasil pendokumentasian ini menjadi jejak peninggalan yang baik, yang dapat disebarkan, terkait bagaimana perempuan di Indonesia menjadi role model bagi enam negara lain di mana JISRA mengimplementasikan programnya.
Workshop yang dilaksanakan selama 2 hari ini, difasilitasi oleh 3 orang penulis profesional dan pegiat media, yaitu: Susi Ivvaty (Alif.id, Asosiasi Tradisi Lisan Indonesia), Iip D Yahya (NU Online Jabar), dan Zahra Amin (Mubadalah.id). Dari pertemuan ini, diharapkan peserta dapat meningkatkan pengetahuan tentang cara menulis deskriptif, menentukan lead atau teras tulisan, serta menggali makna di balik fakta.
Susi Ivvaty menjelaskan bahwa perubahan diri yang dialami seseorang selalu layak untuk diceritakan. “Ada satu titik dalam hidup setiap orang yang menurutku layak untuk diceritakan. Maka, dibutuhkan gaya bercerita narasi yang mampu menarik perhatian pembaca,” katanya.
Menurut Susi, penulis harus bisa menuliskan narasi deskriptif menggunakan lead atau teras, yang membuat pembaca penasaran dan tertarik untuk meneruskan membaca.
Lebih lanjut, penulis artikel populer atau feature yang serius, urai Susi, biasanya mengasah diri untuk menggabungkan kecakapan menulis seorang sastrawan dengan disiplin verifikasi seorang wartawan.
Ia menegaskan bahwa akurasi adalah hal yang paling utama bagi tulisan yang akan dicetak. Ia membagikan contoh-contoh tentang kurangnya akurasi yang bisa berakibat fatal. “Jika sudah dicetak sebagai buku, tulisan tidak bisa diedit, jadi kita nggak boleh meremehkan disiplin verifikasi dan akurasi,” ucapnya.
Untuk memperlancar proses penulisan, Iip D Yahya membagikan tips bahwa dalam menulis ada 2 proses, pertama, kegiatan menulis dan menuangkan gagasan, dan kedua, mengedit tulisan. “Kalau Anda menulis dan mengedit sekaligus ya tulisan nggak akan jadi-jadi. Bagian editing ada waktunya, nah saat ini silakan tulis saja,” katanya.
Terkait writing block, atau merasa stuck saat menulis, Iip menyarankan agar peserta mencari teman yang bisa memberikan masukan atas tulisan yang kita buat.
“Suatu keluhan itu, kalau sudah disampaikan walaupun tidak ada jawabannya, sebenarnya sudah mengurangi beban pikiran. Jadi writing block bisa diatasi dengan menghubungi teman yang bisa memberikan feedback,” ujarnya.
Kegiatan menulis, kata Zahra Amin, adalah seni merangkai kata dan menjahit tulisan agar enak dibaca. “Nulis aja dulu, sejadinya, sedapatnya, dan jika diperlukan tambahlah referensi,” ucapnya.
“Semakin kaya data, semakin enak kita nulis, karena ada banyak bahan yang bisa kita jahit menjadi tulisan,” sarannya.
Menurut Zahra, pergulatan batin juga penting diceritakan. “Bagaimana membangun perdamaian dan bagaimana membangun relasi dengan mereka yang berbeda, atau before and after perlu dieksplorasi,” lanjutnya.
Kristina Damayanti, peserta termuda asal Surakarta yang beragama Kristen, sekaligus aktif di Divisi Kerukunan pada komunitas Sederek Eco Bhinneka Surakarta – Nasyiatul Aisyiyah, mengungkapkan kesannya mengikuti kegiatan ini. “Saya jadi lebih tahu tentang struktur penulisan yang benar, ini pertama kalinya saya berlatih menulis biografi, sebelumnya saya biasa menulis cerita, puisi, dan pantun. Ke depan pemilihan kata di media juga penting, agar menarik pembaca,” kata Damay, yang kini masih duduk di bangku kelas XI di sebuah SMA di Surakarta.
Lain hal dengan yang dirasakan Ani Farhani, Program Officer Peace Generation. Sebagai seseorang yang biasa bertutur bercerita, Ani mengungkapkan bahwa tidak mudah menuangkan pengalaman menjadi sebuah tulisan. “Namun di sini kita diberikan tips-tipsnya dan praktek langsung. Di sini juga saya mendengar cerita aktivitas teman-teman yang luar biasa, yang mendengar ceritanya saja sudah keluar air mata. Apalagi kalau sudah tertuang dalam bentuk tulisan,” tutur Ani, yang kini sedang mengelola program Guru Masagi Abad 21. Kegiatan ini, kata Ani, merupakan pembelajaran dan karya yang sangat berharga untuk merawat perdamaian.
Pasca pelatihan ini, Nita Andriani, tidak ingin berhenti belajar. Selain pertemuan ini menambah skillnya dalam menulis, Koordinator Jaringan Gusdurian Serang Banten ini berharap bisa mengembangkannya lagi. “Harapannya, aku bisa menulis dengan baik dan aku bisa merefleksikan kegiatan ini di organisasiku, nggak hanya di sini, misalnya mencari tahu dan mengangkat kerja-kerja tokoh-tokoh perempuan di daerah,” ucapnya.
Meski berada di zona Waktu Indonesia Bagian Timur (WIT), Usman Mansur antusias mengikuti pertemuan ini walau hanya hadir secara daring melalui ZOOM. “Saya senang bisa berkesempatan belajar menuliskan cerita perubahan melalui narasi deskriptif yang menarik pembaca,” ucap pemuda asal Ternate, Maluku Utara ini.
Sebagai Regional Manager Eco Bhinneka Muhammadiyah Ternate, lanjut Usman, penting baginya untuk mendengar dan belajar cerita perubahan yang dialami oleh individu maupun komunitas dari local partner JISRA Indonesia dari berbagai daerah.
Adapun JISRA (Joint Initiative for Strategic Religious Action) atau Inisiatif Bersama untuk Aksi Keagamaan yang Strategis, adalah konsorsium lintas agama internasional yang terdiri dari Mensen met een Missie, Faith to Action Network, Tearfund, dan Search for Common Ground. Kata Arab Jisr’ berarti jembatan, yang melambangkan tujuan JISRA: membangun jembatan antar komunitas yang berbeda. Program JISRA 2021-2025 dilaksanakan di 7 negara: Indonesia, Irak, Kenya, Ethiopia, Uganda, Mali, dan Nigeria. Proyek JISRA ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang damai dan adil, di mana semua orang dapat menikmati kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Terdapat 10 organisasi mitra yang melaksanakan JISRA di Indonesia yaitu: Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Institut DIAN/Interfidei, Jaringan Gusdurian, Fatayat NU Jawa Barat, Peace Generation, AMAN (Asian Muslim Action Network) Indonesia, Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor), Fahmina, dan Mosintuwu. Konsorsium JISRA di Indonesia telah bekerja sama dengan berbagai aktor, mitra, jaringan, organisasi pemuda dan organisasi perempuan berbasis agama untuk mendukung, meningkatkan kapasitas, dan memperkuat suara dan kebijakan inklusif.
Sumber: Farah