Jakarta – Fenomena El Nino berpeluang berlangsung hingga Februari 2024 dan memicu kenaikan suhu melebihi rekor El Nino kuat terakhir pada awal 2016. Merujuk laporan terbaru National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), ada kemungkinan lebih dari 95 persen El Nino akan berlangsung hingga Februari 2024 disertai dengan dampak iklim yang luas.
“El Nino diperkirakan akan terus berlanjut selama musim dingin di belahan bumi utara,” tulis NOAA dalam laman resminya, dikutip pada, Senin (21/08/2023).
“Model iklim global kami memperkirakan kondisi lautan Pasifik yang lebih hangat dari rata-rata tidak hanya akan berlangsung selama musim dingin, tetapi juga akan terus meningkat,” lanjutnya.
Fenomena El Nino mulai menyapa Bumi pada awal Juni. El Nino merupakan peristiwa peningkatan suhu lautan yang biasanya terjadi setiap dua hingga tujuh tahun di Pasifik tengah dan timur, yang menyebabkan kenaikan suhu udara di seluruh dunia.
Untuk melacak perkembangan El Nino, para ilmuwan mengukur suhu permukaan laut di Samudra Pasifik tropis bagian timur-tengah. Suhu yang sangat tinggi tampaknya mengkonfirmasi prediksi awal peristiwa tahun ini bisa menjadi peristiwa besar.
Menurut NOAA, kondisi atmosfer juga sesuai dengan perkiraan El Nino akan berlangsung dalam periode yang cukup panjang.
“Sebagian besar model menunjukkan bahwa suhu rata-rata global secara substansial akan melebihi awal 2016, peristiwa El Niño kuat terakhir kita, tetapi tidak semuanya,” menurut keterangan lembaga meteorologi AS tersebut.
Berdasarkan data terbaru Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sejauh ini dua indikator menunjukkan El Nino tidak signifikan meski dalam kondisi moderat.
Southern Oscillation Index (SOI) mencapai angka -10.9 (tidak signifikan), dan Indeks NINO 3.4 ada di angka +1.14, tidak signifikan.
Beda BRIN dan BMKG
Dua lembaga yang mempelajari El Nino di Indonesia memiliki pandangan yang cukup berbeda mengenai fenomena tersebut yang akan terjadi pada tahun ini.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memprediksi fenomena El Nino bakal mencapai puncaknya pada September 2023. BMKG menyebut fenomena iklim pemicu turunnya curah hujan itu akan mencapai puncaknya bulan Agustus ini.
Eddy Hermawan, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA) BRIN, mengatakan dia menemukan terjadinya pergeseran puncak El Nino yang diprediksi pada akhir September-Oktober, berdasarkan kajiannya dari berbagai literatur ilmiah.
“El Nino tahun 2023 tergolong unik karena puncaknya diduga bakal terjadi akhir September atau awal Oktober 2023, tidak pada bulan November atau Desember seperti pada umumnya.
Selain itu, durasinya pun tergolong relatif pendek (berakhir hingga awal tahun 2024),” kata Eddy beberapa waktu lalu.
Eddy mengatakan dampak El Nino tahun ini cenderung mengarah ke moderat atau bahkan menuju ke netral dengan nilai 0-1,5, sehingga dampak yang ditimbulkan kurang signifikan.
Sementara, BMKG memperkirakan El Nino akan terjadi hingga akhir tahun dengan puncaknya pada Agustus hingga September.
“El Nino masih akan bertahan sampai akhir tahun. Tapi dampaknya seiring dengan datangnya musim hujan makin berkurang. Sebab November sudah ada mulai hujan,” ungkap Fachri Radjab, Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG.
Saat ini, 63 persen wilayah tanah air sudah masuk musim kemarau dan terdampak El Nino. Menurut BMKG beberapa daerah yang akan terdampak cukup kuat adalah sebagian besar wilayah Sumatera seperti Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Bengkulu, dan Lampung.
Seluruh Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara diprediksi memiliki curah hujan paling rendah dan berpotensi mengalami musim kering yang ekstrem.
Tidak parah-parah amat
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan musim kemarau dan kekeringan di Indonesia imbas El Nino tidak akan separah seperti di Korea Selatan. BMKG memprediksi puncak musim kemarau di Indonesia akan terjadi pada minggu terakhir Agustus 2023 yang dipicu fenomena El Nino.
“Dasarnya kan dari penghitungan suhu muka air laut lalu dihitung dalam indeks atau anomali. Di Indonesia ini relatif paling lemah, kalau di negara lain levelnya bisa lebih tinggi,” kata Dwikorita.
Dwikorita menambahkan kondisi pada saat puncak kemarau tahun ini akan seperti kekeringan pada 2019, meski tidak akan separah 2015 ketika diperburuk dengan luasnya area kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
“Memang kalau kita lihat di lapangan sungai-sungai sudah mulai mengering ya. Tetapi kalau dilihat secara global intensitas atau level El Nino di Indonesia ini relatif rendah. Kita diuntungkan karena masih punya laut,” tuturnya.
“Ini adalah fenomena global yang terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara lain seperti India, Thailand, dan Vietnam. Karena kita levelnya paling rendah sehingga dampaknya tidak akan separah di negara lain,” dia menambahkan.
Respon (1)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Can you be more specific about the content of your article? After reading it, I still have some doubts. Hope you can help me.