Film Tanah Moyangku: Konflik Tenurial yang Tak Kunjung Usai

Sesi diskusi film yang dipandu oleh Ageng, Alumni Sigma, dan Arniyanti, Aktivis Gemawan bersama Donny Haryandi dari Mapala Enggang Gading sebagai pemantik. (Dok. Istimewa)

Pontianak – Sekelompok Muda Mudi dari berbagai organisasi di Kota Pontianak menghadiri Nonton Bareng (Nobar) Film ‘Tanah Moyangku’ yang diinisiasi oleh Mapala Enggang Gading IAIN Pontianak bersama Alumni Social Innovator Gemawan (Sigma).

Kegiatan dipusatkan di Rumah Gesit Gemawan, Kawasan Ujung Pandang, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, pada Sabtu (16/12/2023).

Film Tanah Moyangku merupakan film dokumenter yang diproduksi oleh Watchdoc Documentary bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Belanda KITLV.

Film berdurasi 84 menit ini mengisahkan tentang perjuangan rakyat Indonesia dalam melindungi hak-hak asasi mereka terkait dengan tanah leluhur.

Film tersebut, menyajikan kisah yang menginspirasi serta memantik kesadaran masyarakat terhadap pentingnya melindungi tanah, mempertahankan ruang hidup, dan penghidupan.

Usai pemutaran film, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi yang dipandu oleh Ageng, Alumni Sigma. Dan menghadirkan 2 (dua) orang pemantik diskusi yakni Arniyanti, Aktivis Gemawan dan Donny Haryandi dari Mapala Enggang Gading.

“Terimakasih kasih untuk kawan-kawan yang sudah hadir di acara nobar dan diskusi pada malam ini, terutama untuk Gemawan yang sudah membantu dan menyediakan space untuk kami sehingga terselenggaranya acara ini,” ucap Ketua Mapala Enggang Gading IAIN Pontianak, Rio Fanderi.

Setidaknya melalui film ‘Tanah Moyangku’ ini kita bisa tau, bahwa konflik agraria itu sudah terjadi sejak lama, sejak jaman kolonial Belanda. Kegiatan Nobar dan diskusi pada malam ini sebenarnya tidak dalam memperingati peringatan apapun, ya cuma inisiasi kawan-kawan Mapala Enggang Gading IAIN Pontianak dan berkolaborasi bersama kawan-kawan alumni Sigma yang berkeinginan mengadakan Nobar aja sih,” katanya lagi.

Rio mengatakan sebenarnya film ini menggambarkan kondisi Indonesia pada saat ini, menurut saya ya, kondisinya seperti kembali lagi pada jaman penjajahan istilahnya kayak pemerintah yang menjajah masyarakat.

Dirinya berharap pemerintah bisa lebih selektif dalam memberikan izin terhadap perusahaan yang akan berinvestasi dan tetap memperhatikan kearifan lokal masyarakat agar konflik agraria tidak terjadi kedepannya, ujar Ketua Mapala Enggang Gading IAIN Pontianak ini.

Untuk meningkatkan kesadaran kita semua khususnya anak-anak muda agar bisa ikut merespon hal tersebut, karena tidak menutup kemungkinan hal yang digambarkan pada film Tanah Moyangku itu bisa menimpa kita ataupun keluarga kita kedepannya. “Apalagi anak-anak muda inikan yang digadang gadang kedepannya akan menjadi pemimpin,” timpalnya menekankan.

Menanggapi Film Tanah Moyangku, salah satu penonton, Aisyah Wulandari dari Kabupaten Ketapang mengatakan film Tanah Moyangku ini bagus sekali karena bisa menambah pengetahuan. Menurutnya film ini memberi tau kita apa penyebab terjadinya, dan sejak kapan konflik agraria itu muncul.

“Film ini, kata Aisyah, secara tidak langsung membuat kita sadar bahwa pentingnya menjaga tanah yang menjadi sumber penghidupan kita semua. Dan dirinya berharap pemerintah bisa lebih selektif dalam memberikan izin terhadap perusahaan agar hal-hal seperti apa yang ada di film Tanah Moyangku ini tidak terus terjadi,” ujar dia.

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan