Jakarta – Krisis iklim yang melanda dunia saat ini, membutuhkan lebih banyak lagi orang-orang dan organisasi yang peduli, kritis, dan dapat mengambil peran untuk mencegah laju kehilangan dan kerusakan alam. GreenFaith Indonesia menginisiasi kegiatan Training Climate Justice atau Pelatihan Keadilan Iklim pada, Rabu (10/01/2024), di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Lantai 6, Jakarta Pusat.
Pelatihan dihadiri sebanyak 27 orang peserta beragama Islam, memiliki jaringan atau komunitas, memiliki minat pada isu perubahan iklim, memiliki komitmen pada keseluruhan proses pelatihan, dan berdomisili di Jabodetabek. Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama GreenFaith Indonesia, dengan Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Eco Bhinneka.
“Seri pertama ini kita akan belajar untuk memahami tentang climate justice itu apa, dan bagaimana climate justice dalam perspektif Islam,” ungkap Hening Parlan, Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia saat membuka pelatihan.
Pelatihan ini akan dilaksanakan juga untuk komunitas berbasis agama Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. “Sedangkan seri pelatihan kedua, seluruh peserta yang sudah mengikuti sesi pertama ini, dari semua agama akan kita kumpulkan, untuk bersama-sama belajar bagaimana membangun kampanye dan gerakan sosial,” katanya lagi.
GreenFaith Indonesia bersama dengan lintas agama memfokuskan gerakan mendukung transisi energi yang berkeadilan. “Kampanye membangun kesadaran terhadap energi terbarukan perlu kita mulai dari hati, maka kita punya slogan Clean Energy, Clean Heart,” ungkap Hening yang saat ini juga aktif sebagai Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah.
Selanjutnya, materi Peradaban Islam disampikan oleh Qaris Tajudin, jurnalis yang saat ini menjabat sebagai Direktur Tempo Institute dan aktif sebagai Anggota Dewan Tafkir PP Persatuan Islam.
Qaris mengajak peserta berkelompok untuk mendiskusikan dan mempresentasikan hal-hal apa saja yang memicu Islamic Golden Age. Ia juga memantik peserta berpikir kritis mengenai apa hubungan Islamic Golden Age dengan perubahan iklim.
“Untuk memahami perubahan iklim kita harus memahami sebab ilmiah dari semuanya. Golden Age membuka mata manusia bahwa di balik takdir ada proses, ada sebab akibat yang kita ikuti,” terang Qaris. Menurutnya, semangat Golden Age adalah semangat keilmuan untuk bisa memahami permasalahan itu dari sisi agama.
Qaris menekankan melalui ilmu pengetahuan, peran manusia sangat besar untuk mencegah perubahan iklim. Ia kemudian menjelaskan makna kata Rabb di dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 30 yang artinya adalah Tuhan Yang Menumbuhkan, Menciptakan, Merawat, dan kata Khalifah di ayat tersebut yang berarti Pengganti, Penerus, atau Pelanjut.
“Kata ‘pelanjut’-nya adalah untuk Tuhan yang Merawat, bukan untuk Tuhan yang Berkuasa, sehingga tugas khalifah di sini bukan menguasai makhluk lain, tugasnya khalifah adalah merawat makhluk lainnya,” jelasnya.
Pelatihan dilanjut dengan materi Loss and Damage: Kejahatan Lintas Rezim pada Sektor Sumberdaya Alam dan Lingkungan, disampaikan Direktur Eksekutif WALHI, Zenzi Suhadi. “Perubahan iklim terjadi karena terjadi perubahan ekosistem yang mengalami kerusakan permanen dari sisi material dan sistem,” kata Zenzi.
Perubahan ekosistem ini, kata Zenzi, dipengaruhi oleh sistem dan kebijakan politik dan ekonomi. “Kelompok yang paling rentan adalah mereka sudah kehilangan peradabannya dan menghadapi sistem alam yang hancur. Sehingga tuntutan kita, bagaimana negara bisa memulihkan sistem yang rusak dan memperkuat masyarakat agar mampu menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi,” terangnya.
Untuk mendorong upaya pemulihan ekosistem, kata Zenzi perlu dorongan kelompok beriman yang ditransformasi dalam sikap politik. “Karena kehancuran yang ada berawal dari keputusan politik. Keputusan politik negara akan bisa berubah kalau ada tuntutan politik dari ummat,” pungkas Zenzi.
Parid Ridwanuddin dari WALHI Nasional, menyampaikan materi berikutnya tentang Kolonialisme dan Krisis Iklim. “Kolonialisme ialah kontrol atau penguasaan oleh satu kekuatan atas wilayah atau orang yang bergantung padanya,” terangnya.
Menurut Parid, kolonialisme bekerja jika ada narasi kebijakan yang berkembang, ada jaringan yang menghubungkan antar aktor satu dengan yang lainnya, dan ada aktor politik dan kepentingan. “Negara-negara penghasil emisi terbesar di dunia, Perusahaan multinasional penghasil emisi, dan orang-orang kaya dunia punya tanggungjawab atas emisi yang mereka produksi,” terangnya.
Sementara Nana Firman, Senior Ambassador GreenFaith Internasional, menyampaikan materi berikutnya tentang Islam and Climate Justice dan menekankan kenaikan suhu 1 derajat Celsius akan berdampak besar bagi perubahan iklim dan kehidupan di Bumi. Karena itu Nana mengajak agar para peserta bersama dengan organisasi atau komunitasnya turut berpikir kritis dan mengambil peran untuk mengubah sistem.
“Siapa yang bertanggungjawab terhadap krisis iklim ini? Mari kita kaji akar permasalahannya. Kemudian apa yang harus diubah? Sistemnya yang harus diubah, mengubahnya dengan apa, jika tidak berjalan, menjalankannya bagaimana, apa alternatifnya?” ungkapnya memantik diskusi.
Lebih lanjut, Nana mengajak peserta untuk kembali membaca atau Iqra’ pada ajaran Al Qur’an dan Sunnah. “There is no planet B. Karena Rasulullah bilang, jagalah bumi ini, karena bumi ini adalah ibumu. Siapa yang harus dimuliakan? Ibumu, ibumu, dan ibumu,” pungkas Nana.
Kegiatan yang difasilitasi David Effendi dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHPB) PP Muhammadiyah ini berakhir dengan rencana aksi para peserta secara individu dan bersama dengan komunitasnya. Para peserta selanjutnya akan mendapatkan pembekalan untuk membuat kampanye yang efektif pada Februari 2024.
Tentang Greenfaith Indonesia
GreenFaith, sebuah organisasi multi-agama global yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan keadilan iklim dengan pengalaman puluhan tahun menangani krisis iklim, dan sebuah organisasi iklim berbasis agama, menyelenggarakan pelatihan tatap muka selama dua atau tiga hari bagi para pemimpin komunitas Muslim akar rumput yang fokus pada krisis iklim tentang pendekatan Islam terhadap keadilan iklim.
Greenfaith Indonesia (GFI) merupakan bagian dari Greenfaith International (GF) Organization Network yang berbasis di New York City, Amerika Serikat. Greenfaith didirikan pada tahun 1992, awalnya bernama Mitra untuk Kualitas Lingkungan.
Misi GF adalah membangun gerakan lingkungan dan iklim multi-agama di seluruh dunia, dengan visi membangun komunitas dan ekonomi yang berketahanan dan peduli yang memenuhi kebutuhan semua orang dan melindungi planet ini. GF memfokuskan pekerjaannya dalam melakukan kampanye dan membangun kapasitas organisasi lintas agama dan anggota jaringannya dalam konteks energi dan keadilan iklim.
GF berkomitmen dan menyerukan tindakan yang harus diambil oleh jaringannya: Segera mengakhiri proyek bahan bakar fosil baru dan deforestasi, transisi cepat menuju 100% energi terbarukan, dan penghapusan bahan bakar fosil secara bertahap. Serta komitmen terhadap transisi yang adil bagi pekerja yang terkena dampak dan komunitas yang rentan terhadap perubahan iklim.