dialektis.id – Pontianak, Kalbar. Ketika rakyat diminta hidup hemat dan disiplin, para pejabat justru berpesta di balik anggaran. Kalimantan Barat bukan lagi zona rawan, tapi ladang basah korupsi. Ironisnya, aparat yang seharusnya menjadi penjaga malah kerap jadi pelaku. Pertanyaannya sampai kapan rakyat harus diam ?
Di awal 2025, masyarakat kembali dikecewakan dengan skandal korupsi pengadaan proyek fiktif di lingkup PU Mempawah, dengan dugaan kerugian miliaran rupiah. Nama-nama besar disebut, namun seperti biasa, publik hanya disuguhi pernyataan “masih penyelidikan”. Apakah hukum hanya akan tajam ke bawah dan tumpul ke atas ?
Korupsi bukan lagi isu moral, tapi sudah menjelma menjadi budaya sistemik yang dilindungi struktur kekuasaan. Laporan Transparansi Internasional mencatat skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia stagnan di angka 37 dari 100, cermin nyata bahwa pemberantasan korupsi hanya jargon. Sementara itu, di Kalbar, penyalahgunaan dana desa, pengadaan barang fiktif, hingga gratifikasi terus terjadi tanpa efek jera.
Rakyat semakin muak melihat penegakan hukum yang lamban dan terkesan selektif. Banyak pihak yang dilaporkan, namun kasusnya “tiba-tiba lenyap” entah ke mana. Dimana suara KPK ? Dimana peran kejaksaan ? Jangan-jangan, ini bukan hanya persoalan lemahnya bukti, tapi kuatnya lobi politik dan kongkalikong kekuasaan.
Opini publik kini mengerucut pada satu kata yaitu ketidakpercayaan. Jika aparat penegak hukum tak segera menindak tegas dan transparan, bukan tak mungkin rakyat akan bertindak dengan cara mereka sendiri. Ketika hukum tak bisa diandalkan, ruang publik akan menjadi tempat pengadilan moral.
Sudah saatnya, Kalbar tidak hanya menjadi penonton. Media, akademisi, ormas, hingga mahasiswa harus bersatu membangun tekanan publik yang nyata. Jangan biarkan Kalbar menjadi provinsi tanpa malu, tempat para koruptor nyaman bersembunyi di balik jas dan jabatan.













