Pontianak – Kota Pontianak telah melakukan upaya dengan menyusun Rencana Aksi Perubahan Iklim. Rencana ini berfokus pada tiga hal, yakni banjir rob, sampah, dan energi. Perkembangan industri dan pembangunan di wilayah perkotaan meningkatkan permintaan terhadap kualitas dan kuantitas air. Sehingga dibutuhkan peningkatan pengelolaan air hujan, sumber air permukaan, serta pemanfaatan air limbah dan fasilitas lanskap.
“Tiga permasalahan itu berkelindan dengan pengelolaan sumberdaya air. Karena itu saat ini kami bekerjasama dengan KotaKita dan Hivos melakukan riset untuk mengidentifikasi peluang dan tantangan pengelolaan sumberdaya air serta daya tahan warga Kota Pontianak menghadapi perubahan iklim,” beber Sri Haryanti, Kepala Divisi Good Governance Gemawan saat Lokakarya Pemangku Kepentingan bertema Memperkuat Ketangguhan Sosial-Ekologi dan Kesejahteraan Warga Wilayah Kumuh di Pontianak, Kalimantan Barat pada, Kamis (31/08/2023).
Lokakarya ini, kata Anti sapaannya, mendiseminasi hasil riset RISE mengenai dampak perubahan iklim terhadap perubahan pola hujan dan kondisi sosial-ekologi di Pontianak serta situasi dan persepsi warga terhadap ketersediaan air bersih dan sanitasi di permukiman kumuh Kota Pontianak. “Tim peneliti RISE yang hadir adalah Faisal Imaduddin Wira Rohmat dari Universitas Pendidikan Indonesia dan Noco Halomoan dari Institut Teknologi Bandung,” timpalnya.
Menurutnya, lokakarya ini juga bermaksud menyebarkan hasil kajian Resilient Indonesian Slums Envisioned (RISE) kepada pemangku kepentingan di Kota Pontianak. “Kami melihat ada tiga hal besar yang memberikan dampak, yakni perubahan iklim, urbanisasi, dan digitalisasi. Untuk riset RISE kali ini lebih menyoroti urbanisasi dan digitalisasi,” imbuh Anti pada sela kegiatan yang berlokasi di Aula A. Muis Amin, Bappeda Kota Pontianak.
Direktur Gemawan, Laili Khairnur, dalam sambutannya menyebut saat ini dunia sedang menghadapi climate crisis. “Menurut laporan PBB, saat ini adalah era ketika Bumi Mendidih. IPCC juga menyatakan suhu planet Bumi berada di antara 0.8°C dan 1.3°C lebih hangat dari masa pra-industri. Laporan itu mengungkap peningkatan emisi berpotensi mendekati ambang batas 1.5°C pada awal 2030, lebih cepat dari perkiraan sebelumnya,” papar Laili.
Ia menjelaskan Perserikatan Bangsa-Bangsa memprediksi kenaikan suhu akan menembus 2°C pada 2040. FAO juga mengingatkan bahwa krisis Pangan akan menjadi persoalan ke depan, termasuk krisis air bersih.
“Di Pontianak sendiri kita juga harus mempersiapkan diri menghadapi Bumi yang semakin panas. Karena 50 tahun ke depan scientist memprediksi kita akan nyaman tidur ini hanya sekitar 3 jam di waktu subuh,” Laili mengingatkan ancaman akibat perubahan iklim.
“Khusus terkait banjir rob, sampah dan air bersih, riset RISE kerjasama berbagai universitas besar di Indonesia, seperti UI, ITB, UPI, dll ini membicarakan hal tersebut. Kami berharap penelitian ini tidak hanya konsumsi akademik dan masyarakat ilmiah semata, namun juga bisa lebih implementatif dan solutif bagi Pemerintah Kota dan juga masyarakat Kota Pontianak,” harapnya.
Ditempat yang sama, Ilham Saenong, Programme Development Manager Yayasan Hivos, mengajak agar hasil riset RISE tidak hanya menjadi pengetahuan semata. “Riset ini diharapkan dapat memberikan dampak besar, yakni menemukan solusi yang dapat diterapkan untuk menghadapi perubahan iklim,” katanya.
Ia menerangkan solusi yang diperoleh tidak menutup kemungkinan akan berhubungan dengan penggunaan teknologi digital.
Urbanisasi, perubahan iklim, dan digitalisasi adalah pendorong perubahan saat ini. Proyek RISE digagas untuk merespon urbanisasi dan perubahan. “Proyek riset RISE merupakan kolaborasi universitas dan lembaga dari Indonesia dan Belanda dengan dukungan dana Dewan Riset Belanda (NWO) bekerjasama dengan BRINS,” jelasnya lagi.
Ia menyebut Pontianak memiliki kemiripan dengan kota-kota di Belanda. “Tidak menutup kemungkinan ada pertukaran pengetahuan dan inovasi-teknologi antar dua negara,” tuturnya.
Komitmen Wujudkan Pontianak Tangguh Iklim
Pemerintah Kota (Pemkot) Pontianak berkomitmen mengentaskan wilayah kumuh dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Hal itu bisa dilihat dari keberhasilan pengurangan kawasan kumuh kota, dari 150,16 hektar di tahun 2020, menjadi 71,57 hektar kumuh ringan di tahun 2022,” papar Walikota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono.
Ia mengatakan, capaian ini tidak lepas dari kolaborasi bersama stakeholder, dan upaya membangun Pontianak yang adaptif terhadap dampak perubahan iklim.
Menurutnya, pembangunan waterfront tidak hanya sebagai ruang publik, namun juga batas permukiman agar tidak menjorok ke dalam sungai. Dampaknya bisa dilihat bagaimana kawasan itu menjadi pusat rekreasi dan ekonomi baru di Pontianak.
Edi juga menjelaskan sejumlah aksi iklim yang sudah dilaksanakan Pemkot Pontianak, mulai dari penataan drainase, ruang terbuka hijau, monitoring kualitas air dan limbah, penyediaan IPAL komunal, kampung iklim hingga merencanakan pembangunan Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Terpusat (SPALD-T) yang akan melayani 35% populasi penduduk Kota Pontianak.
“Kota Pontianak yang berada di garis Khatulistiwa, disatukan Sungai Kapuas dan memiliki hamparan gambut, merasakan langsung dampak dari perubahan iklim,” sebutnya.
“Saya berharap lokakarya hari ini dapat menjadi sarana komunikasi dan bertukar informasi, serta perencanaan menghadapi tantangan iklim ke depan, yang tidak hanya bermanfaat bagi warga kota, namun juga kita sebagai komunitas global,” pungkas Edi.