Mempawah – Momentum Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-95 Tahun 2023, Kolektif Muda-mudi bersama Alumni Sigma Kabupaten Mempawah mengadakan “Aksi Kolaboratif Cegah Bencana Iklim” dengan mengusung tema “NGOPI: Ngobrol Perubahan Iklim” bertempat di WK. Kampoeng Baru, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, Sabtu (28/10/2023) kemarin.
Kegiatan yang diawali dengan Diskusi dan dilanjutkan nonton bareng (nobar) Film Asimetris garapan watchdoc itu mengakhirkan empat (4) Narasumber yakni, Kabid Kebakaran BPBD Mempawah, Desvan Erdanustie; Hendi Suhendri, Alumni Sigma Mempawah; Kasi PPM UPT KPH Wilayah Mempawah, Reni Ayufrida Oktafyanti; Tenaga Ahli BRGM, Hermawansyah; Ageng, Jurnalis, Penulis lepas sebagai Moderator. Dan diikuti peserta yang terdiri dari Organisasi Kepemudaan, Jurnalis, Aktivis, Mahasiswa hingga Masyarakat Sipil.
Hendi Suhendri, Alumni Sigma Mempawah mengatakan bahwa kegiatan malam ini merupakan bentuk tindak lanjut kita pada forum Sigma Mempawah yang beberapa waktu lalu kita laksanakan. Dan selanjutnya Kodap sapaannya mengajak forum untuk berefleksi atas gerakan Aksi Kolaboratif Cegah Bencana Iklim, karena menurutnya
Isu perubahan iklim bukan hanya isu daerah saja bahkan sudah menjadi isu internasional maka dari itu penting untuk kita bicarakan bersama seperti melalui acara malam ini, melalui ruang ini kita coba akan mencari ruang alternatif apa yang kira kira bisa kita lakukan untuk memitigasi, karena perubahan iklim ini sudah mengakibatkan banyak bencana. “Karena fakta bahwa yang sedang kita hadapi saat ini, sedang tidak baik baik saja. Maka dari itu kita kolaborasi sama sama cegah bencana iklim yang terjadi saat ini,” ujarnya.
Kita sebagai pemuda harus mengambil sikap dan peran aktif untuk menyikapi perubahan iklim seperti yang kita rasakan saat ini. “Karena kita akan menyongsong masa depan yang akan datang, kalau kita bersikap acuh tak acuh, ruang aman dan nyaman untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita itu akan sulit untuk kita wujudkan, jika kita tidak mencegah bencana iklim sejak dini. Nah itulah latar belakang yang harus sikap bersama sama,” katanya lagi.
Lebih lanjut, Kodap menyampaikan, Jika kita berbicara terkait perubahan iklim itu sebenarnya banyak sudah dampak yang kita rasakan seperti banjir, karhutla, dan kualitas udara yang semakin hari semakin memburuk, dan kalau mau curhat ni ya, rumah saya tu ya dari saya kecil sampai saya sekarang ini sudah nikah dan punya anak, rumah saya itu udah lima kali renovasi gara-gara banjir, nah itu salah satu contohnya. Maka dari pada itu tidak menutup kemungkinan juga dirasakan di daerah daerah lainnya. Karena kehidupan sekitar kita ini sebenarnya sudah banyak yang berubah kondisi geografisnya terutama di daerah yang dekat dengan sungai.
“Jika kita tidak merespon dan menyikapi perubahan iklim seperti saat ini. Kita siap siap saja ruang hidup yang aman dan nyaman untuk kita dan generasi kita yang akan datang itu hanyalah imajinasi saja. Berangkat dari pengalaman pengalaman itulah makanya harus kita sikapi dan bersinergi bersama,” pungkasnya.
Tenaga Ahli BRGM, Hermawansyah, dalam diskusi Ngobrol Perubahan Iklim meyampaikan pandangannya mengenai situasi ekologis di Mempawah. “Bumi Galaherang ini menjadi langganan bencana alam. Tiap tahun terjadi kebakaran, dan sebagian besar terjadinya di lahan gambut. Karena memang di Kabupaten Mempawah ini sebaran gambutnya cukup luas,” terangnya.
“Saya diundang di sini dalam kapasitas sebagai TA Badan Restorasi Gambut dan Mangrove yang memang ditugaskan untuk bagaimana bersama-sama bergotong-royong untuk memulihkan ekosistem gambut,” terangnya lagi.
Wawan, sapaannya, menyampaikan gambut memiliki fungsi yang sangat luas sekali dalam menopang kehidupan. “Gambut terbentuk bukan karena proses rekayasa genetik ataupun rekayasa saintifik tetapi itu adalah produk dari tangan-tangan Tuhan melalui sistem alam semesta yang bekerja.
Dikatakan Wawan, ketika terjadi kebakaran lahan gambut, maka yang dilepaskan adalah gas rumah kaca yang memicu pemanasan global. “Nah kalau pemanasan global itu terjadi dampaknya adalah perubahan iklim,” paparnya.
Orang di kampung saja yang sekarang ini, saudara kita yang bekerja sebagai nelayan itu sudah tidak lagi bisa mengandalkan kepada kearifan tradisional bagaimana menghitung pada bulan tertentu, misalnya jenis ikan-ikan apa karena kalender musim itu sudah tidak menentu. Begitupula saudara-saudara kita sebagai petani, kalender musim itu sudah tidak menentu akibat perubahan iklim, yang mestinya bulan-bulan itu hujan ternyata panas bedengkang kata orang sini. “Apalagi tahun ini, tahun el-nino yang tingkat kekeringannya itu lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya,” ujar pria kelahiran Sungai Bakau Kecil tersebut.
Tidak bisa lagi sekarang kita berkerja sendiri, apalagi merasa benar sendiri. Saatnya bekerja sama, bergandengan tangan dan gotong-royong menjawab masalah dan kebutuhan bersama. “Pemerintah juga punya keterbatasan, perlu dibantu. Di sisi lain, masyarakat harus terus diperkuat kapasitas dan partisipasinya,” tambahnya.