MoU GreenFaith Indonesia dan GPIB: Mengikat Komitmen Iman untuk Menjaga Bumi

Balikpapan – Sebuah tonggak penting bagi gerakan iman dan ekologi di Indonesia lahir di Balikpapan. Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) dan GreenFaith Indonesia resmi menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) tentang program kerja sama di bidang lingkungan hidup.

Penandatanganan ini berlangsung di tengah rangkaian Bulan Gereja, Masyarakat, Agama-agama, dan Lingkungan Hidup (Germasa) 2025. Germasa sendiri merupakan forum tahunan yang menjadi ruang refleksi kritis dan aksi nyata gereja publik.

Dari pihak GPIB, MoU ditandatangani oleh Pdt. Manuel E. Raintung, Ketua II Majelis Sinode GPIB Bidang Gereja, Masyarakat, Agama-Agama, dan Lingkungan Hidup (GERMASA-LH). Sementara dari GreenFaith Indonesia, penandatanganan dilakukan oleh Hening Purwati, mewakili komunitas lintas iman yang selama ini konsisten mengusung isu transisi energi berkeadilan dan keadilan iklim.

Isi Pokok MoU
MoU ini memuat sejumlah kesepakatan strategis, antara lain:
1. Penelitian kolaboratif di bidang lingkungan hidup, termasuk riset bersama, penerbitan hasil riset, dan pengembangan ilmu pengetahuan.
2. Penguatan kapasitas jemaat GPIB agar semakin peduli pada ekologi dan berdaya dalam aksi nyata.
3. Promosi Gerakan Gereja Ramah Lingkungan di lingkup daerah maupun nasional.

Kerja sama ini akan berlangsung selama empat tahun dan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan kedua pihak. Seluruh pembiayaan kegiatan akan dituangkan dalam rencana program bersama yang disepakati secara transparan.

Iman, Ekologi, dan Tanggung Jawab Moral
Bagi GPIB, penandatanganan ini bukan sekadar seremoni. Pilihan lokasi di Kalimantan Timur, daerah yang kini menjadi episentrum pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, sarat makna. Di tengah gegap gempita proyek negara, Kalimantan juga menyimpan luka ekologis: deforestasi, marjinalisasi masyarakat adat, dan ancaman krisis iklim yang makin nyata.

Lewat kerja sama ini, GPIB menegaskan diri sebagai gereja publik—gereja yang tak berdiam diri di balik tembok ibadah, tetapi hadir menjawab pergumulan masyarakat dan lingkungan. MoU ini, dalam kata lain, menjadi wujud konkrit iman yang menolak diam di hadapan ketidakadilan ekologis.

“Gereja tak bisa menutup mata. Kerusakan lingkungan adalah wujud krisis moral manusia. Melalui kerja sama ini, kami ingin memberi teladan bahwa menjaga bumi adalah bagian dari pelayanan kasih,” ujar Pdt. Manuel Raintung seraya menegaskan bahwa kerja sama ini merupakan bagian dari panggilan iman.

Sementara itu, Hening Purwati dari GreenFaith Indonesia menyatakan bahwa kolaborasi lintas iman dan institusi keagamaan sangat mendesak di tengah krisis iklim global.

“Krisis iklim adalah krisis spiritual. Ia menantang kita semua—umat beragama, pemerintah, dan masyarakat sipil—untuk keluar dari zona nyaman dan bekerja bersama. MoU ini adalah langkah kecil, tetapi penting, menuju perubahan besar,” katanya.

Kritik Ekologis dari Dua Iman
Pemilihan Balikpapan sebagai lokasi Germasa dan penandatanganan MoU memiliki pesan kritis: pembangunan Nusantara tak boleh mengulang dosa lama berupa ekosida dan marginalisasi rakyat kecil. Gereja memilih hadir di tengah pusaran itu, bukan untuk menjadi penonton, melainkan pengingat moral bagi bangsa.

Seperti dikatakan Syahrul Ramadhan, Community Officer GreenFaith Indonesia, dalam diskusi di TPA Manggar sehari sebelum MoU ditandatangani:

“Transisi energi dan pengelolaan lingkungan tak bisa sekadar jargon. Ia harus dimulai dari iman, dari hati yang berani mengatakan: bumi bukan milik elite, tetapi rumah bersama.”

Bulan Germasa 2025 kali ini mengusung tema: “Memperteguh Panggilan dan Pengutusan Gereja untuk mewujudkan Kasih Allah bagi semua orang demi keutuhan ciptaan.”

Tema ini mencerminkan arah GPIB yang tak ingin terjebak dalam ritualisme, melainkan keluar menjawab realitas krisis bangsa: polarisasi politik, kemerosotan moral, dan kerusakan ekologi.

Selama empat hari (21–24 Agustus), Germasa menghadirkan dialog lintas iman, pendidikan politik umat, aksi bersih lingkungan, hingga deklarasi bersejarah “Gereja Ramah Demokrasi GPIB”. Semua itu menunjukkan bahwa gereja bisa sekaligus ramah demokrasi, ramah lingkungan, dan ramah kebinekaan.

Bulan Germasa 2025 sekaligus menegaskan satu hal: gereja yang diam adalah gereja yang mati. Di tengah krisis iklim dan krisis moral bangsa, gereja harus berani bersuara, berdiri bersama yang lemah, menolak ketidakadilan, dan memberi teladan hidup sederhana.

Dari Balikpapan, gema itu bergulir. GPIB dan GreenFaith Indonesia mengikat janji iman untuk bumi. Sebuah janji yang bukan hanya ditulis di atas kertas, tetapi ditujukan untuk menggerakkan umat, mengubah cara pandang, dan menyelamatkan generasi mendatang dari kehancuran ekologis.***

Tentang GreenFaith Indonesia
GreenFaith Indonesia adalah jaringan lintas iman yang berkomitmen pada isu keadilan iklim, transisi energi berkeadilan, dan penguatan kapasitas komunitas beragama untuk melawan krisis lingkungan.

Tentang GPIB
Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) adalah gereja nasional yang berakar pada semangat pelayanan publik, dengan mandat menghadirkan kasih Allah di tengah realitas sosial, politik, dan ekologis bangsa.

Bagikan Berita