Pontianak – Rumah Gesit Borneo menjadi saksi perhelatan Nobar dan Diskusi Film Dokumenter berjudul “17 Surat Cinta,” yang berlangsung pada Rabu, 04 Desember 2024.
Acara ini diinisiasi oleh Keep Earth Borneo bekerja sama dengan Gemawan, Kolase.Id, Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK), Ekspedisi Indonesia Baru, dan BKSDA Kalimantan Barat.
Aldo Risky Pratama Project in Charge (PIC) kegiatan menjelaskan tentang visi dan misi Keep Earth Borneo, yang berkomitmen pada pelestarian lingkungan hidup di Kalimantan. Ia juga menegaskan bahwa tujuan utama dari acara ini adalah meningkatkan kesadaran publik, terutama generasi muda, tentang pentingnya melindungi kawasan konservasi yang kini terancam oleh ekspansi korporasi.
“Kegiatan ini diadakan untuk memperingati World Wildlife Conservation Day. Kami berharap acara ini dapat memicu semangat aksi nyata, terutama di Kalimantan Barat, untuk bersama-sama melindungi lingkungan dan menciptakan ekosistem yang berkelanjutan,” jelas Aldo.
Hadir sebagai Pemantik Diskusi, RM Wiwied Widodo selaku Kepala Balai BKSDA Kalimantan Barat, Andi Fahrizal dari Yayasan Kolase.Id, serta Wati Susilawati dari Jurnalis Perempuan Khatulistiwa. Dan dipandu oleh Arniyanti dari Gemawan, yang membawa dinamika diskusi menjadi hidup dengan narasi-narasi penuh semangat dari para pemateri.
Acara ini dirancang untuk melibatkan seluruh elemen masyarakat, khususnya generasi muda, termasuk aktivis lingkungan, organisasi non-pemerintah (NGO), dan individu peduli lingkungan. Semua peserta hadir dengan semangat belajar dan berdiskusi untuk memahami lebih dalam realitas kerusakan lingkungan yang tergambar dalam film dokumenter tersebut.
Mengupas Film Dokumenter 17 Surat Cinta
Film “17 Surat Cinta” karya Dandhy Laksono memaparkan kisah tragis penghancuran Suaka Margasatwa Rawa Singkil di Aceh. Lebih dari 2.000 hektar kawasan konservasi telah berubah menjadi kebun sawit. Upaya perlindungan kawasan itu dituangkan dalam 17 surat yang dikirimkan kepada pihak terkait, namun tidak ada respons yang memadai.
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menggambarkan film ini sebagai sebuah panggilan aksi, bukan sekadar narasi kosong. Film ini menjadi simbol keteguhan hati untuk tidak menyerah meskipun dihadapkan pada kenyataan pahit.
Sementara itu, sang Sutradara Dandhy Dwi Laksono, menegaskan bahwa dokumenter ini adalah sebuah cerita tentang harapan, semangat, dan keberanian melawan dominasi korporasi yang mengatasnamakan pembangunan demi keuntungan segelintir pihak.
Film ini juga mengungkap bagaimana investasi yang mengklaim kepentingan masyarakat kerap menjadi kedok untuk eksploitasi alam dan perampasan hak masyarakat adat. Dampaknya tidak hanya merusak ekosistem hutan, tetapi juga merugikan komunitas lokal yang menggantungkan hidup pada keberlanjutan kawasan hutan tersebut.
Pesan dan Kesimpulan Diskusi
Diskusi yang diadakan seusai pemutaran film menghasilkan berbagai refleksi penting. Kesimpulan dari dokumenter ini adalah penggambaran nyata pengrusakan kawasan konservasi oleh pihak tidak bertanggung jawab, alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, hingga perampasan tanah adat. Semua ini mengancam keberlanjutan lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat lokal.
Sebagai penutup, para peserta diskusi sepakat bahwa generasi muda harus menjadi garda terdepan dalam melindungi kawasan hutan di Indonesia. Kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk masyarakat adat, NGO, dan pemerintah, juga menjadi kunci untuk menghentikan eksploitasi dan menjaga keberlanjutan lingkungan hidup.
Seruan untuk Bertindak
Nobar dan Diskusi Film Dokumenter “17 Surat Cinta” ini diharapkan mampu menjadi katalisator bagi masyarakat untuk mulai peduli terhadap isu-isu lingkungan. Dengan langkah nyata dari berbagai elemen masyarakat, kehancuran kawasan konservasi dapat dicegah, dan keberlanjutan lingkungan untuk generasi mendatang tetap terjaga.