Musim durian selalu menghadirkan euforia tersendiri di berbagai daerah. Namun, bagi masyarakat Desa Sekabuk, Kecamatan Sadaniang, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, musim durian bukan sekadar waktu untuk menikmati buah dengan rasa manis dan aroma khas. Lebih dari itu, musim durian menjadi penanda hidupnya sebuah tradisi lama yang terus dipelihara hingga hari ini: Nyantu’ Durian, tradisi sabar menunggu buah durian jatuh dari pohonnya.
Nyantu’ Durian merupakan kebiasaan turun-temurun yang telah melekat dalam kehidupan masyarakat Desa Sekabuk. Tradisi ini hanya dilakukan pada musim durian dan menjadi bagian penting dari identitas budaya lokal. Dalam praktiknya, warga tidak memetik buah langsung dari pohon, melainkan menunggu durian jatuh secara alami. Cara ini dipercaya menjaga kualitas buah sekaligus mencerminkan sikap menghormati alam, sebagaimana diwariskan oleh para leluhur.
Sebagian besar pohon durian di Desa Sekabuk tumbuh di kawasan kaki dan punggung perbukitan yang berdekatan langsung dengan hutan. Kebun-kebun durian tersebut merupakan peninggalan lintas generasi, berasal dari bekas perkampungan berpindah masyarakat lokal pada masa lalu. Keberadaan pohon durian tidak hanya bernilai ekonomi, tetapi juga menyimpan jejak sejarah dan memori kolektif masyarakat setempat.
Hampir setiap kebun durian di wilayah ini memiliki alur sungai kecil atau jeram yang bersumber dari mata air pegunungan. Di sekitar kebun, warga membangun dango atau pondok sederhana sebagai tempat menunggu durian jatuh. Pondok ini menjadi ruang berkumpul, tempat warga memasak, makan bersama, dan berbagi cerita, sembari menikmati kesejukan hutan serta gemericik air dari mata air bukit. Suasana tersebut menghadirkan hubungan yang intim antara manusia dan alam.
Pelaksanaan Nyantu’ Durian dilakukan dengan sistem giliran antar keluarga. Sistem ini mencerminkan nilai kebersamaan dan keadilan, mengingat setiap pohon durian memiliki sejarah panjang sebagai warisan para orang tua terdahulu. Usia pohon-pohon durian tersebut rata-rata telah mencapai puluhan tahun, bahkan sebagian berusia ratusan tahun. Karena itu, kepemilikan dan pemanfaatannya diatur secara adat agar tetap lestari dan tidak menimbulkan konflik.
Jika ditelusuri lebih jauh, penanaman pohon durian di sekitar mata air bukanlah kebetulan. Para leluhur tampaknya memiliki pengetahuan ekologis yang kuat. Selain menanam pohon buah sebagai sumber pangan bagi generasi berikutnya, mereka secara tidak langsung menjaga keberlangsungan mata air. Akar pohon durian membantu menjaga struktur tanah dan melindungi sumber air dari kerusakan, sekaligus mencegah eksploitasi berlebihan terhadap kawasan hutan.
Dengan demikian, Nyantu’ Durian tidak hanya dapat dipahami sebagai tradisi musiman, tetapi juga sebagai bentuk kearifan lokal yang menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Tradisi ini mengajarkan kesabaran, kebersamaan, serta tanggung jawab terhadap lingkungan. Di tengah arus modernisasi dan perubahan pola hidup, Nyantu’ Durian menjadi pengingat bahwa warisan budaya dan pengetahuan lokal masih sangat relevan untuk dipelajari dan dipertahankan hingga hari ini.
Juru tulis: Pemuda antar Lintas sub-Budaya
Di Bawah Dango: Menemukan Intimasi Manusia dan Alam dalam Tradisi Nyantu’ Durian













