Prolog: Bumi yang Meranggas, Manusia yang Masih Lalai
Isu lingkungan di negeri ini bukan lagi sekadar peringatan—ia telah menjelma menjadi kenyataan yang pahit, menggigit, dan tak bisa kita tolak. Di balik rimbun kepentingan ekonomi yang rakus, hutan ditebang, tanah dikoyak, sungai dicemari, seolah semuanya hanyalah angka yang bisa diperjualbelikan.
Yang hilang bukan sekadar pepohonan atau aliran sungai; yang hilang adalah penyangga hidup kita sendiri. Dan apa yang dirampas tidak akan kembali semudah membalik halaman. Bumi yang dahulu memberi kita ruang untuk bernapas, kini perlahan menyempitkan ruang itu, hari demi hari.
Balasan Alam Tidak Pernah Ingkar
Ketika hutan diratakan, yang datang bukan hanya lahan kosong. Yang datang adalah banjir yang menggenangi kota, kekeringan yang merontokkan panen, suhu yang menusuk bahkan saat malam tiba. Alam tidak membalas dengan kata-kata; ia membalas dengan luka yang terus melebar.
Yang dulu kita anggap sebagai musibah tahunan kini berubah menjadi rutinitas yang mengendap, membuat kita terbiasa hidup dalam kecemasan samar. Dan mungkin inilah bagian paling mengerikan: kita mulai terbiasa. Kita sudah tidak lagi kaget.
Advokasi yang Lelah Berteriak
Di tengah kekacauan ini, suara-suara yang berusaha mengingatkan kerap tenggelam. Aktivis dianggap berlebihan. Data ilmiah dipandang sebelah mata. Banyak yang merasa isu ini terlalu jauh, terlalu rumit, atau terlalu tidak menyentuh kehidupan mereka.
Dan mungkin di sinilah letak tragedi paling sunyi: ketika kehancuran tampak jelas di depan mata, namun perhatian kita justru teralihkan ke hal-hal yang lebih mudah dicerna.
Bahasa teknis yang rumit dari para pembicara lingkungan sering kali memperlebar jarak antara pengetahuan dan masyarakat. Seolah hanya segelintir orang yang “berhak” memahami bahwa dunia ini sedang sakit parah.
Tak Ada Penyelamat yang Akan Datang
Jika kita hanya menunggu pemerintah bergerak, kita tengah menunggu dalam kegelapan. Perubahan tidak lahir dari ruang rapat atau dokumen penuh tanda tangan yang mahal. Perubahan, cepat atau lambat, harus dimulai oleh kita—orang-orang yang justru paling rentan merasakan dampak krisis ini.
Kesadaran lingkungan bukanlah ritual. Ia adalah proses menyadari bahwa hidup kita sedang perlahan ditarik menuju tepi jurang.
Langkah Kecil di Tengah Dunia yang Terbakar
Memang benar: langkah kecil sering terasa tidak cukup. Bagaimana mungkin mengurangi sampah atau menanam satu pohon mampu menandingi kerusakan sebesar ini?
Namun justru dari rasa tidak berdaya itu kita menemukan satu hal penting: memilih untuk tetap bergerak, meski sedikit, adalah cara melawan keputusasaan yang ingin membuat kita diam.
Mungkin perubahan itu tidak terasa. Mungkin dunia tetap terasa panas. Tetapi setiap tindakan, sekecil apa pun, adalah bentuk perlawanan terhadap rasa menyerah.
Krisis Ini Sudah Menyentuh Tubuh Kita
Krisis lingkungan bukan ancaman yang melayang di udara. Ia telah meresap ke dalam hidup kita—ke udara yang kita hirup dengan sesak, ke air yang tak lagi sebening dulu, ke panas yang menempel di kulit bahkan saat angin berembus pelan.
Ia hadir di meja makan, di kulit yang semakin kering, di tenggorokan yang gatal, di malam-malam yang sulit ditidurkan. Krisis ini tidak lagi mengetuk pintu; ia telah masuk dan duduk di ruang tengah rumah kita.
Kita Tidak Punya Kemewahan untuk Menunggu
Ini bukan seruan heroik. Ini bukan ajakan manis. Ini adalah pengakuan bahwa waktu kita semakin sedikit.
Kita tidak membutuhkan jutaan orang untuk memulai sesuatu. Kita hanya memerlukan cukup banyak orang untuk berkata: Saya tidak ingin dunia ini runtuh tanpa perlawanan.
Dan mungkin, di tengah kegelapan yang kian menebal, langkah kecilmu adalah satu-satunya cahaya yang masih tersisa.
Penulis: Pemuda antar Lintas Sub-Budaya
Catatan dari Penulis: Dalam setiap upaya menerjemahkan gagasan ke dalam tindakan, keselarasan bukanlah sesuatu yang selalu hadir. Ada detail yang luput dari pandangan, ada langkah yang melenceng arah, dan dari celah-celah itulah muncul perbedaan pandangan—yang terkadang menjelma menjadi perdebatan panjang tanpa ujung.
Tulisan ini tidak saya susun untuk menentukan siapa yang paling benar atau gagasan mana yang seharusnya dijadikan pegangan. Yang saya lakukan hanyalah mencoba melihat sebuah fenomena, lalu merangkainya menjadi refleksi. Kritik yang tertera di sini bukan bentuk penghakiman, melainkan jembatan kecil—undangan bagi siapa pun yang ingin berhenti sejenak dan memberi waktu untuk membaca.
Melalui catatan ini, saya mengajak pembaca menelusuri sudut pandang lain: bagaimana sebuah seruan lahir, berkembang, lalu mengakar. Ia tumbuh bukan hanya dari hiruk-pikuk sosial yang tampak di permukaan, tetapi juga dari rekam peristiwa di lapangan—jejak-jejak nyata yang sering tersembunyi, namun sesungguhnya memberi bingkai penting dalam memahami apa yang sedang berlangsung.













