Lemondjin dan Perjalanan Pulang: “One By One I Face Tour 2025”

Malam itu, Kota Pontianak terasa lembap tak seperti biasa. Udara menempel di kulit, berat dan pelan-pelan membawa aroma tanah yang basah oleh hujan sore. Di halaman sebuah rumah di pinggiran kota, suara mesin mobil boks meraung pelan — kendaraan yang akan membawa Band Crossover Hardcore asal Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia, Lemondjin menuju terminal bus lintas batas negara.

Beberapa ransel, gitar, dan peralatan manggung lainnya disusun rapi ke dalam bagasi. Satu per satu personel band membantu mengangkat perlengkapan sambil bercanda kecil, menahan getar di dada yang sulit dijelaskan: campuran antara semangat, haru, dan kerinduan. Setelah sekian lama, mereka akan kembali ke jalanan — menapaki lagi lintasan yang dulu membentuk siapa mereka hari ini.

Setelah sepuluh tahun, Lemondjin kembali melakukan tur lintas negara. Bertajuk “One By One I Face Tour 2025”, perjalanan ini dimulai pada 23 Mei dan berakhir pada 7 Juni 2025. Dari Malaysia ke Singapura, lalu berujung di tanah sendiri — Pontianak.
Sebuah perjalanan pulang yang panjang, berliku, dan sarat makna.

Mengulang Jejak Lama: Ziarah ke Ingatan

Tur kali ini bukan sekadar promosi album baru. Bagi Lemondjin, ini adalah ziarah atas perjalanan mereka sendiri — kepada kawan lama, kepada skena yang membentuk mereka hingga hari ini, kepada ingatan yang belum benar-benar selesai sejak “Telajak Tour 2015.”

Satu dekade lalu, mereka melangkah dengan semangat muda dan perlengkapan seadanya. Kini, mereka datang dengan kesadaran baru: bahwa setiap langkah, setiap panggung, setiap peluh dan jarak yang ditempuh, adalah cara mereka bertahan — menolak diam di tengah dunia yang terus berubah.

Setiap kota yang disinggahi punya cerita dan aromanya sendiri. Kuching yang penuh keramahan, Ipoh yang lembut, Taiping dengan suasana yang syahdu, Melaka yang sarat nostalgia. Lalu panggung di Singapura dengan tata cahaya elegan, lorong seni di Masai Johor Bahru, dan venue bersejarah Rumah Api, di mana dinding-dinding penuh coretan masih menyimpan gema teriakan masa lalu.

Di sana, musik hardcore/punk dari Kalimantan Barat kembali mengguncang — menembus batas, menolak dilupakan, dan mengingatkan bahwa musik tidak pernah mengenal garis di peta.

Dentuman yang Menghidupkan Ingatan

Setiap malam, ketika lampu panggung menyala dan intro pertama mulai terdengar, energi Lemondjin meledak seperti tak pernah padam. Dentuman distorsi gitar, gebukan drum yang menghantam dada, dan teriakan penuh amarah bercampur dengan rasa syukur yang tak bisa disembunyikan. Lagu-lagu dari album terbaru One By One I Face bersanding dengan materi lama — single dan mini album yang dulu menemani langkah awal mereka.

Crowd berdesakan di depan panggung, kepala berguncang mengikuti ritme, tangan-tangan terangkat tinggi. Bagi sebagian penonton yang sudah mengikuti Lemondjin sejak awal, momen itu seperti membuka kembali lembaran lama — seolah waktu melipat diri, dan tur pada tahun 2015 terasa baru kemarin.

“Sudah hampir sepuluh tahun sejak kami terakhir main di Rumah Api,” ucap sang gitaris di sela set. “Kali ini tempatnya mungkin berbeda, tapi rasanya tetap sama. Energinya nggak pernah hilang — karena kawan-kawan masih di sini.”

Sorak-sorai pun pecah. Tidak ada lagi jarak antara band dan penonton — hanya ruang yang dipenuhi dentuman, peluh, dan kenangan. Di antara teriakan dan tawa, musik menjadi jembatan: menghubungkan masa lalu, kini, dan yang akan datang.

Pertemuan: Solidaritas yang Menghidupkan

Di sela-sela tur, Lemondjin bertemu banyak wajah lama — teman, kawan se-skena hardcore/punk, bahkan penonton yang mungkin dulu berdiri di depan panggung itu masih dengan seragam sekolah, kini datang lagi sambil menggendong anak kecil.

Di Melaka, mereka singgah di rumah seorang kawan lama. Hidangan sederhana di meja, kopi hitam, air kratom yang bikin kepala terasa berputar-putar, dan tawa yang tak kunjung habis membuat malam terasa panjang. Cerita masa lalu mengalir begitu saja: kisah tidur di lantai ruang tamu, makan seadanya, perjalanan berjam-jam hanya demi satu panggung yang penuh arti.

Kesederhanaan itu justru menjadi pengingat — bahwa yang membuat perjalanan ini berharga bukanlah jarak atau jumlah penonton, tapi rasa solidaritas yang tumbuh dari bawah tanah. Dari ruang-ruang kecil yang dihidupi oleh kejujuran, ketulusan, dan kebersamaan.

“Rasanya kayak balik ke masa sepuluh tahun lalu,” kata sang basis di tengah perjalanan menuju Singapura. “Cuma sekarang kita datang dengan materi baru, tanggung jawab yang lebih besar, tapi semangatnya masih tetap sama.” Ia tersenyum, menatap keluar jendela bus, menyaksikan langit pagi yang perlahan berubah warna — seolah semesta ikut menyambut perjalanan mereka.

Pulang ke Pontianak: Epilog yang Pilu

Dua minggu berlalu. Dari jalanan Malaysia yang mendebarkan hingga dataran Singapura yang terlalu rapi, dari tawa renyah hingga lelah yang tak terhitung, akhirnya perjalanan itu tiba di ujungnya—Pontianak. Kota yang menjadi awal semua sumpah sekaligus akhir dari sebuah bab. Tempat semua suara dan langkah harus berpulang untuk mengisi energi kembali.

Venue malam itu penuh sesak. Kawan-kawan lama, keluarga, dan penonton datang memberi sambutan yang memecah keheningan hati. Di tengah sorak, pelukan, dan air mata yang akhirnya tumpah, Lemondjin menutup tur dengan lagu yang pernah mereka mainkan sepuluh tahun lalu—lagu yang mengingatkan, bahwa lingkaran perjuangan selalu berputar untuk membawa kita kembali ke rumah. Distorsi gitar terakhir menggema dan kemudian mati.

Di antara riuh yang memantul di dinding venue, ada rasa tenang yang menghanyutkan. Semua perjuangan, semua jarak, semua keraguan, seolah terbayar lunas malam itu. Mereka telah kembali, lebih kuat dari sebelumnya.

Pulang

One By One I Face Tour 2025 bukan sekadar tur lintas negara. Ia adalah pernyataan tentang keteguhan, persaudaraan, dan cinta yang tak pernah padam. Tentang bagaimana sebuah band hardcore dari Kalimantan Barat menyalakan api kecil yang terus hidup di tengah keterbatasan.

Tentang sahabat, kesetiaan, dan keberanian untuk terus melangkah — satu per satu, menghadapi apa pun yang datang.

One by one they face — and always, they find their way home.

Penulis: Pemuda antar lintas sub-Budaya

Bagikan Berita