Pontianak – Berangkat dari kegelisahan terkait minimnya keberadaan ruang apresiasi dan ekspresi kesenian di Kota Pontianak, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Sarana Pengembangan Seni Mahasiswa (Sarang Semut) Universitas Tanjungpura (Untan) menggelar pertunjukan musik (Street Gigs) bertajuk “BEERISIK Vol 1”, Sabtu (16/09/2023).
Perhelatan yang berlangsung di Pasar Rakyat/Pasar Tengah, Kota Pontianak, Kalimantan Barat itu dimeriahkan dengan penampilan band berbagai genre dan dihadiri para penikmat serta para penggiat seni dari berbagai komunitas.
Adapun rangkaian kegiatan terdiri atas Diskusi dan Pertunjukan Musik (Street Gigs). “Diskusi dilaksanakan di Rumah Adat Melayu Kampung Caping pada 03 September, dan pada Diskusi tersebut kita ngebahas tentang keberadaan ruang apresiasi dan ekspresi kesenian yang ada di Kota Pontianak, bukan hanya untuk seni musik, karena kesenian kan macam-macam ada lukis, teater, tari, dan lain-lain. Dan pada hari ini adalah acara puncak dari rangkaian kegiatan BEERISIK Vol 1,” kata salah satu anggota panitia UKM Sarang Semut, Mario.
“Kenapa pada acara puncaknya kita angkat issuenya di ruang publik salah satunya pasar tengah. Karena kita ingin mempertanyakan, apakah kita ini masih bisa dibilang eksinya itu dianggap apa tidak? dengan yang memegang kebijakan, sebenarnya itu pesan yang kita bawa,” jelasnya lagi.
Dikatakan Mario, “didalam aksi ini kita turut mengandeng berbagai komunitas, dan penggiat seperti kerumunan, soundliar, aliansi parabocor, dan lain-lainnya. Dan ada juga pihak sponsor yang turut membantu misalnya towget out dari hotel-hotel ada beberapa, nah kalau untuk peralatan ini soundsystem dan lighting itu dari wirasuara kita kolaborasikan perlatannya dari tyo di fkip prodi seni Untan, dan sponsor-sponsor lainnya,” urainya.
Ia menyampaikan kalau berbicara harapan sebenarnya banyak, ini cuma merupakan suara-suara kecil. Kita ingin, imbuh Mario, kembali lagi, kita ingin bertanya apakah masih diperdulikan atau tidak sebagai penggiat. Untuk harapan lain-lain pada akhirnya adalah semua bisa punya poros untuk berkegiatan kesenian.
Jadi, sambung dia, kita pinginnya poros kalau jaman dulu kan Taman Budaya (TB), jadi disitu enak bisa sharing, tukar pikiran, dan bahkan bisa sambil bantu-bantu, misalnya yang ini lagi produksi kita bantu, dan yang ini lagi berkegiatan kita juga bantu, yang pada intinya membangun aksi kolektif pada ruang tersebut. “Maka dari itu kita inginnya poros, poros untuk berkesenian. Dan tuntutannya tidak harus gedung yang megah, cukup layak dan bisa di fungsikan untuk kawan-kawan penggiat,” pungkas Mario.