NGOPI, Hermawansyah Ajak Orang Muda Mempawah Aksi Iklim Kolaboratif

Tenaga Ahli BRGM, Hermawansyah saat menyampaikan materi pada Aksi Kolaboratif Cegah Bencana Iklim. (Dok. Istimewa)

Mempawah – Kolektif Muda-Mudi bersama Alumni Sigma Mempawah menggelar program kolaboratif NGOPI – Ngobrol Perubahan Iklim bertajuk Aksi Kolaboratif Cegah Bencana Iklim, Sabtu (28/10/2023).

Kegiatan berlangsung di Warung Kopi Kampoeng Baru, Mempawah, menghadirkan empat (4) narasumber, yakni Kabid Kebakaran BPBD Mempawah, Desvan Erdanustie; Kasi PPM UPT KPH Wilayah Mempawah, Reni Ayufrida Oktafyanti; Hendi Suhendri, Alumni Sigma Mempawah; dan Tenaga Ahli BRGM, Hermawansyah. Dipandu jurnalis muda, Ageng, NGOPI diikuti peserta yang berasal dari berbagai latar belakang, seperti organisasi kepemudaan, jurnalis, aktivis, mahasiswa, dan komunitas masyarakat sipil.

Menurut data KLHK, hutan Kalimantan Barat memiliki luas 5.579.942.028 hektar atau 5,94% dari total hutan Indonesia. Namun hutan itu terancam punah karena perilaku manusia. Hermawansyah memaparkan kondisi ekologis yang semakin kritis. “Dari tahun 2015 hingga 2023, tidak satu tahun pun dilewati tanpa kebakaran hutan dan lahan. Total 462.981.73 hektar lahan dan hutan Kalbar terbakar 8 tahun terakhir ini,” papar pria kelahiran Desa Sungai Bakau Kecil, Mempawah.

“Bahkan meskipun tahun 2023 belum berakhir, sudah lebih dari 82.000 hektar yang hangus karena karhutla,” tambah pria eksponen Reformasi 98.

Wawan, panggilan akrabnya, menyoroti bencana alam yang terjadi di Mempawah. “Bumi Galaherang ini menjadi langganan bencana alam. Tiap tahun terjadi kebakaran. Sebagian besar terjadinya di lahan gambut, karena memang di Kabupaten Mempawah ini sebaran gambutnya cukup luas,” terangnya.

Ia menyampaikan arti penting gambut mencegah lepasnya gas rumah kaca (GRK). Ketika terjadi kebakaran lahan gambut, lanjut Wawan, maka yang dilepaskan adalah GRK yang memicu pemanasan global. “Nah kalau pemanasan global itu terjadi dampaknya adalah perubahan iklim,” paparnya.

“Saudara kita yang bekerja sebagai nelayan sudah tidak lagi bisa mengandalkan kearifan tradisional menghitung pada bulan tertentu. Misalnya, jenis ikan-ikan apa yang bisa diperoleh, karena kalender musim sudah tidak menentu. Begitu pula para petani, kalender musim itu sudah tidak menentu akibat perubahan iklim,” pungkasnya.

El Nino yang berlangsung memperparah tingkat kekeringan, sehingga memicu kebakaran lebih cepat terjadi.

“Tidak bisa lagi sekarang kita berkerja sendiri, apalagi merasa benar sendiri. Saatnya bekerja sama, bergandengan tangan dan gotong-royong menjawab masalah dan kebutuhan bersama,” ajak pegiat sosial ini.

“Pemerintah punya keterbatasan, perlu dibantu. Di sisi lain, masyarakat harus terus diperkuat kapasitas dan partisipasinya,” tutupnya.

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan