Dialektis.Id – Peringatan International Women’s Day tahun ini tidak hanya menjadi ajang perayaan, tetapi juga panggung perlawanan. Band punk Sukatani, yang baru-baru ini menjadi pusat perhatian atas lagu mereka “Bayar Bayar Bayar,” kembali bersuara! Kali ini, bukan dengan lirik yang menghentak, tetapi dengan warna-warna perlawanan yang terpampang nyata di tembok kota.
Dalam aksi simbolis yang penuh makna, para personel band Sukatani bersama para aktivis dan seniman jalanan membuat graffiti yang menggambarkan wajah-wajah yang selama ini dibungkam. Goresan kuas dan semprotan cat bukan sekadar seni, tetapi seruan lantang melawan kriminalisasi terhadap ekspresi dan kritik kepada pemerintah.
Aksi ini dilakukan sebagai respons atas intimidasi yang mereka alami pasca viralnya lagu “Bayar Bayar Bayar,” yang secara tajam mengkritik aparat kepolisian. Mereka dipaksa untuk membuka identitas, melepas topeng yang selama ini menjadi simbol perlawanan, dan bahkan dipaksa untuk membuat video permintaan maaf. Bukan hanya mereka yang dikorbankan, tapi juga kebebasan berekspresi di negeri ini yang kembali terancam.
Setiap suara yang dibungkam akan lahir dalam bentuk lain. Jika lirik dari hasil karya seni harus dipaksa diam, maka tembok-tembok kota akan berbicara. Jika diintimidasi, maka akan lahir lebih banyak perlawanan!”
Peringatan International Women’s Day ini menjadi momen penting untuk tidak hanya memperjuangkan hak perempuan, tetapi juga hak setiap individu untuk menyuarakan kebenaran tanpa ketakutan. Sejarah mencatat bahwa perjuangan tidak pernah mati oleh tekanan, tetapi justru semakin membesar ketika ketidakadilan semakin terasa.
Mural dan graffiti yang mereka buat menjadi simbol bahwa seni tidak bisa dibungkam. Suara-suara yang ditindas akan terus menemukan jalannya. Di balik warna-warna perlawanan, ada pesan yang harus didengar: kebebasan berekspresi adalah hak, bukan kejahatan!
Apakah kita akan diam? Atau akan ikut mengambil bagian dalam gelombang perlawanan ini? Sejarah akan mencatat di pihak mana kita berdiri!